Senin, 15 April 2013

♫♥♫= PILIANG SALAH SATU SUKU DI MINANGKABAU =♫♥♫

Walaupun Judulnya seakan berbicara suku Piliang, namu artikel ini lebih banyak mengupas kepada Minangkabau secara Umum, kerena berbicara suku di Minangkabau tidak bisa terpisah dari Minangkabau itu sendiri secara keseluruhan.
Menurut tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah :
·         Suku Koto
·         Suku Piliang
·         Suku Bodi
·         Suku Caniago
Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, Sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis. Dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat dikatakan kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, sebagai contoh koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, Piliang berasal dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti Pilihan Tuhan, bodi berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.


Bagaimana cara keempat suku memerintah nagari, pepatah adat Minangkabau mengatakan sebagai berikut :
·         Kamanakan barajo ka mamak, (kemenakan beraja kepada mamak)
·         Mamak barajo ka panghulu, (mamak beraja kepada penghulu)
·         Panghulu berajokamupakat, (penghulu beraja kepada mufakat)
·         Mupakat barajo kanan bana, (Mufakat beraja pada kebenaran)
·         Bana berdiri sandirinyo, (Kebenaran berdiri sendirinya)
·         Nan dimakan alua jo patuit,Yang menurut alur dan patut.
Pepatah adat Minangkabau ini dapat diartikan bahwa kemenakan tunduk kepada mamak sebagai kepala keluarga. Selanjutnya mamak tersebut tunduk pula pada penghulu atau ninik mamak, yaitu seseorang yang telah diangkat oleh seluruh anggota keluarga sebagai kepala suku atau kepala kaumnya. Penghulu tunduk pula pada mufakat, artinya walaupun dia sudah diangkat untuk mengepalai suatu kaum/suku, dia tidak dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan, harus menjalankan apa yang telah disepakati sebelumnya. Kata mufakat itulah yangi menuntunnya bertugas sebagai kepala suku, sedangkan apa yang dimufakati itu harus berdasarkan kepada hal yang benar, yang memang sudah harus demikian menurut hukum Tuhan atau hukum alam yang tidak dapat dibantah kebenarannya, atau sekurang-kurangnya kebenaran yang dapat diterima oleh seluruh anggota yang hadir dalam menetapkan mufakat itu.
Yang dikatakan alur dan patut itu tidak sama artinya bagi seluruh nagari, karena adanya perbedaan pandangan yang diakui oleh adat Minangkabau yang dikatakan dalam pepatah : "Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya". Dengan demikian cara memberi arti atau menterjemahkan alur dan patut itu sangat tergantung pada pandangan dan tafsiran masing-masing nagari. ltulah sebabnya nagari di Sumatera Barat diperintah secara otonomi yang sangat luas, sehingga nagari itu tidak mengakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi di luar batas nagarinya sendiri.
Secara teoritis pengertian alur dan patut itu sama untuk seluruh daerah Minangkabau, misalnya untuk ungkapan : "bulek aia dek pembuluh, bulek kato dek mupakat, picaklah buliah dilayangkan, bulek lah buliah digolongkan, (bulat air karena pembuluh. bulat kata karena mufakat, picak dapat dilayangkan, bulat dapat digelindingkan). Arti ungkapan ini sama untuk seluruh daerah Minangkabau, tetapi dalam pelaksanaannya apa yang bulat itu tidaklah sama untuk masing-masing nagari, misalnya ada yang bulat kecil seperti kacang-kacang atau kelereng, ada yang bulat panjang seperti tongkat pramuka, ada yang bulat besar seperti bola kaki atau bola dunia, dan sebagainya. Semuanya itu dikatakan bulat, tetapi bentuk bulatnya tidak sama. Hal itu sangat tergantung pada masing-masing nagari untuk menterjemahkannya.
Hanya saja kalau salah satu pengertian itu sudah dimufakati, maka akan dijalankan dan tidak seorangpun lagi dari anggota keluarga atau anak nagari yang dapat melarangnya. Hukum pelanggaran adalah dibuang sepanjang adat.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Pada setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta pusaka—yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh dalam Islam—hanya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun.
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Selain itu dalam Adat dan budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang Bergonjong, hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari di kawasan Luhak saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup di luar kampung halamannya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau, biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu di tengah-tengah lingkungan adat. Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
Menurut saya, Suku Minangkabau mempunyai beragam adat istiadat yang sangat menarik yang sangat sayang jika dilupakan, juga mempunyai beragam kesenian, beragam makanan khas Suku Minangkabau yang sekarang telah mendunia. Suku Minangkabau juga mempunyai tradisi yang sangat menarik buat saya, yaitu merantau. Jadi Suku Minangkabau memang memiliki tradisi itu dari usia belasan tahun telah diajarkan untuk merantau yang tujuannya untuk proses berinteraksi dengan dunia luar, meraka merantau bukan hanya kekayaan saja yang mereka dapat tapi juga menuntut ilmu dan prestise, kehormatan individu ditengah-tengah lingkungan adat. Maka dari itu Orang Minangkabau dikenal orang yang sangat gigih untuk mendapatkan apa yang ia mau. Termasuklah salah satunya Suku Piliang.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHIYAR

Secara bahasa khiyar berarti memilih mana yang lebih baik dari dua hal atau lebih. Sementara secara terminologis menurut para pakar adalah ...