Rabu, 19 Juni 2013

Masalah Dalam Kewarisan



1.       ‘Aul

Secara bahasa al-aul artinya "bertambah". Sedang dalam fiqih mawaris, al-aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak daripada asal masalahnya sehingga asal masalahny harus ditambah / diubah.

Contoh penghitungan pada masalah aul :

1) Ahli waris terdiri dari suami dan 2 orang saudara perempuan kandung. Bagian masing-masingnya adalah :

Bagian suami 1/2 dan dua saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalahnya adalah 6.
Suami = 1/2 x 6 = 3
2 saudara pr = 2/3 x 6 = 4
jumlah bagian saham = 7

Dalam kasus seperti ini, asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7, ini berarti tidak cocok. Agar harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris dengan adil, maka asal masalah dinaikan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya adalah :
Suami = 3/7 x harta warisan
2 saudara pr = 4/7 x harta warisan

2) Ahli waris terdiri dari istri, ibu, 2 saudara perempuan kandung dan seorang saudara seibu. Harta peninggalan Rp. 180 Juta, Bagian masing-masingnya adalah :

Maka hasilnya :

Istri memperoleh 1/4, ibu memperoleh 1/6, 2 saudara perempuan kandung memperoleh 2/3 dan saudara seibu memperoleh 1/6. Asal masalahnya 12.
Istri = 1/4 x 12 = 3
Ibu = 1/6 x 12 = 2
2 saudara pr = 2/3 x 12 = 8
Sdr ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah =15

Asal masalahnya 12, sedangkan jumlah bagian 15, maka asal masalah dinaikan menjadi 15. Cara penghitungan akhirnya :

Istri = 3/15 x 180 Juta = 36 Juta
Ibu = 2/15 x 180 Juta = 24 Juta
2 sdr kandung = 8/15 x 180 Juta = 96 Juta
Sdr seibu = 2/15 x 180 Juta = 24 Juta
Jumlah = 180 Juta

2.       Al- Radd

Secara bahasa, kata al-radd berarti "mengembalikan". Sedangkan menurut pengertian syara', al-radd adalah "membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing, setelah menerima bagiannya".
Radd dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih ada sisa harta. Sedangkan ahli waris tidak ada 'ashabah. Maka sisa harta tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada, kecuali suami / istri.

Contoh penyelesaian dengan radd :

Ahli waris terdiri seorang anak perempuan dan ibu, dan harta yang ditinggalkan sebesar Rp. 60 Juta. Maka penyelesaiannya :
Bagian anak perempuan 1/2 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 6.
Anak PR = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4
Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka penyelesaiannya dengan radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Sehingga cara penyelesaian akhirnya :

Anak PR = 3/4 x 60 Juta = Rp. 45 Juta
Ibu = 1/4 x 60 Juta = Rp. 15 Juta

Cara penyelesaian diatas adalah apabila tidak ada suami / istri. Apabila ada suami / istri, cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
Seorang meninggal dengan meninggalkan harta sebesar Rp. 9 Juta Ahli warisnya terdiri dari istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri = 1/4 x 12 = 3
2 sdr = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9

Karena ada istri, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diambil dulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi.
Maka untuk istri = 3/12 x Rp. 9 Juta = Rp. 2.250.000. Sisa warisan setelah diambil istri berarti Rp. Rp. 6.750.000 dibagi untuk 2 orang saudara seibu dan ibu, yaitu dengan cara bilangan pembaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris, baginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris, yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :

2 Sdr = 4/6 x Rp. 6.750.000 = Rp. 4.500.000
Ibu = 2/6 x Rp. 6.750.000 = Rp. 2.250.000
Jumlah = Rp. 6.750.000
Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 2.250.000
2 sdr = Rp. 4.500.000
Ibu = Rp. 2.250.000
Jumlah = Rp. 9 Juta

3.       Gharawain

Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah :

1. Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu, dan bapak.
2. Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu, dan bapak.

Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin thalib dan Zaid bin tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah karena jika dibagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil daripada ibu.

Untuk itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana di bawah ini :

1. Ntuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak 'ashabah. Misalnya harta peninggalannya adalah sebagai berikut :
Suami 1/2 x Rp 60 Juta = Rp. 30 Juta
Sisa = Rp. 30 Juta
Ibu 1/3 x Rp. 30 Juta = Rp. 10 Juta
Bapak = Rp. 20 Juta
Jumlah = Rp. 60 Juta

2. Untuk masalah kedua maka bagian masing-masing adalah istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak 'ashabah.

Misalnya harta peninggalan sebesar Rp. 90 Juta Cara pembagiannya adalah sebagai berikut :

Suami 1/4 x Rp 90 Juta = Rp. 22.500.000
Sisa = Rp. 67.500.000
Ibu 1/3 x Rp. 67.500.000 = Rp. 22.500.000
Bapak = Rp. 45 Juta
Jumlah = 90 Juta

4.       Musyarakah

Musyarakah, secara kebahasaan artinya yang "diserikatkan", yaitu jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris semestinya memperoleh warisan, tetapi tidak memperoleh, maka disyarikatkan kepada ahli waris yang memperoleh bagian.
Masalah musyarakah ini terjadi jika ahli waris terdiri dari suamu, ibu, 2 orang saudara seibu dan saudara laki-laki kandung. Jika dihitung menurut kaidah mawaris yang umum, saudara laki-laki tidak mendapat warisan. Padahal saudara laki-laki kandung lebih kuat daripada saudara seibu.

Hal ini dapat dilihat dalam pembagian dibawah ini :
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6 = 1/6 = 1
2 sdr seibu 1/3= 2/6 = 2
Sdr lk ashabah = 0 = tidak mendapat bagian.

Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang diikuti oleh Imam Tsauri, Syafi'i dan lain-lain, pembagian seperti diatas tidak adil. Maka untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu di dalam bagian seperti yang 1/3 (dibagi dua untuk 2 orang saudara seibu dan saudara kandung).

Sehingga penyelesaiannya dapat dilihat dalam pembagian di bawah ini :

Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6 = 1/6 = 1
2 Sdr seibu & kandung 1/3 = 2/6 = 2
Jumlah = 6
Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki kandung dibagi rata-rata, meskipun diantara mereka ada ahli waris laki-laki maupun perempuan.

Ahli Waris Yang Terhijab

1. Ahli waris yang terkena hijab nugshan

a. Ibu, terhijab oleh anak, cucu, dua orang saudara atau lebih, dari satu per tiga menjadi sati per enam
b. Bapak, terhijab oleh far' al-waris (anak / cucu), dari 'ashabah menjadi satu per enam
c. Suami, terhijab oleh far' al-waris (anak / cucu), dari satu per dua ke satu per empat
d. Istri, terhijab oleh far' al-waris (anak / cucu), dari satu per empat ke satu per delapan
e. Cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh adanya anak perempuan yang bagian satu per dua dan tidak bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki, dari satu per dua menjadi satu per enam
 
Ahli waris yang terhijab hirman adalah :

a. Cucu laki-laki terhijab oleh anak laki-laki
b. Kakek dari bapak terhijab oleh bapak
c. Saudara laki-laki sekandung terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
d. Saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- saudara laki-laki sekandung
- saudara perempuan sekandung bersama dengan anak / cucu perempuan
e. Saudara laki-laki seibu terhijab oleh
- anak laki-laki
- anak perempuan
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- cucu perempuan dari anak laki-laki
- bapak
- kakek
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung (keponakan), terhijab oleh :
- anak lak-laki
- cucu laki-laki dari anak lak-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan sekandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan
g. Anak lak-laki dari saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak lak-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
h. Paman kandung (saudara laki-laki bapak sekandung), terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
i. Paman (saudara laki-laki) sebapak terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
- paman sekandung
j. Anak laki-laki dari paman sekandung terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki sekandung
- saudara laki-laki sebapak saja
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- paman kandung
- paman sebapak
k. Anak laki-laki paman sebapak, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- anak laki-laki dari saudara saudara laki-laki sebapak
- paman sekandung
- paman sebapak
- anak laki-laki paman sekandung
l. Cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- dua anak perempuan / lebih jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
m. Nenek dari pihak bapak terhijab oleh bapak
n. Nenek dari pihak ibu, terhijab oleh ibu
o. Saudara perempuan kandung, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
p. Saudara perempuan sebapak terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- saudara perempuan kandung dua orang atau lebih, jika tidak ada saudara laki-laki sebapak
- seorang saudar perempuan bersama anak / cucu perempuan ( dari anak laki-laki )
q. Saudara perempuan seibu, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- anak perempuan
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- cucu perempuan dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak

Hadis Tentang Sumber Hukum

Bunyi hadist :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو.....
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman bersabda : “Bagaimana engkau akan menghukum apabila dating kepadamu satu perkara ?”. Ia (Mu’adz) menjawab : “Saya akan menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau : “Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah ?”. Ia menjawab : “Saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Bagaimana jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur…”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 3592 dan 3593 dengan sanad-sanad sebagai berikut :

Sanad yang Pertama :
حدثنا حفص بن عمر عن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل
  1. Hafsh bin ‘Umar (حفص بن عمر)
  2. Syu’bah (شعبة)
  3. Abi ‘Aun (أبي عون)
  4. Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah (الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة)
  5. Shahabat Mu’adz dari kalangan penduduk kota Himsh (أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل).
  6. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).
Sanad yang Kedua :
حدثنا مسدد ثنا يحيى عن شعبة حدثني أبو عون عن الحرث بن عمرو عن ناس من أصحاب معاذ عن معاذ بن جبل
  1. Musaddad (مسدد)
  2. Yahya (يحيى)
  3. Syu’bah (شعبة)
  4. Abu ‘Aun (أبو عون)
  5. Al-Harits bin ‘Amr (الحرث بن عمرو)
  6. Beberapa orang shahabat Mu’adz (ناس من أصحاب معاذ)
  7. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).
Selain itu, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 1327 dan 1328 dengan lafadh :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فقال كيف تقضي فقال أقضي بما في كتاب الله قال فإن لم يكن في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أجتهد رأيي.......
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’adz menjawab : “Maka (saya akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Beliau bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya….”.
Sanad yang Pertama :
حدثنا هناد حدثنا وكيع عن شعبة عن أبي عون الثقفي عن الحرث بن عمرو عن رجال من أصحاب معاذ
  1. Hanaad (هناد)
  2. Waki’ (وكيع)
  3. Syu’bah (شعبة)
  4. Abi ‘Aun Ats-Tsaqafi (أبي عون الثقفي)
  5. Al-Harits bin ‘Amr (الحرث بن عمرو)
  6. Beberapa orang shahabat Mu’adz (رجال من أصحاب معاذ)
  7. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).
Sanad yang Kedua :
حدثنا محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر وعبد الرحمن بن مهدي قالا حدثنا شعبة عن أبي عون عن الحرث بن عمرو بن أخ للمغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص عن معاذ عن النبي صلى الله عليه وسلم
  1. Muhammad bin Basysyar (محمد بن بشار)
  2. Muhammad bin Ja’far (محمد بن جعفر) dan ‘Abdurrahman bin Mahdi (عبد الرحمن بن مهدي)
  3. Syu’bah (شعبة)
  4. Abi ‘Aun (أبي عون)
  5. Al-Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah (الحرث بن عمرو بن أخ للمغيرة بن شعبة)
  6. Beberapa orang penduduk kota Himsh (أناس من أهل حمص)
  7. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).

Senin, 17 Juni 2013

Eksepsi

PEMBUATAN BERITA ACARA SIDANG PENGADILAN AGAMA


Jawaban tergugat biasanya terdiri dari dua macam, yakni
  1. jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut dengan eksepsi.
  2. jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principle)
Arti harfiah eksepsi adalah tangkisan,
Sedangkan pengertiannya secara istilah adalah suatu sanggahan atau tangkisan yang dilakukan tergugat terhadap gugatan penggugat dimuka sidang Pengadilan Agama dan sanggahan tersebut tidak mengenai pokok perkara.
Tergugat yang mengajukan sanggahan (eksepsi) disebut “excipient”,
Maksud pengajuan eksepsi adalah agar hakim menetapkan gugatan tidak diterima atau ditolak.

Untuk memudahkan pemahaman kita dalam memaknai eksepsi, maka eksepsi dibedakan menjadi dua macam, yakni:
1. Eksepsi Formil (“Prosessual eksepsi”)
Eksepsi formil adalah eksepsi yang berdasar pada hukum formal (Hukum acara) yang berlaku.

Hukum formil meliputi :
a. Eksepsi mengenai kewenangan absolut.
Kewenangan absolut ini diatur dalam Pasal: 125 ayat (2), 134 dqn Pasal 136 HIR, / Pasal : 149 ayat (2) dan Pasal. 162 RBG.

Istilah lain eksepsi absolut adalah attributief exceptie.
Sedang yang dimaksud dengan eksepsi absolut ialah pernyataan ketidakwenangan suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilain lain dalam lingkungan peradilan yang berbeda.
Eksepsi absolut dapat diajukan di setiap saat dan disetiap tahap pemeriksaan, walaupun tidak diminta oleh pihak tergugat (Exepient), namun hakim secara ex ofisio harus menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa perkara tersebut.

Apabila eksepsi tehadap kompetensi absolut disetujui, maka putusan dinyatakan secara negatif bahwa pengadilan tidak berwenang , bila eksepsi terhadap kompetensi absolut tidak disetujui maka hakim melalui putusan sela menyatakan eksepsi ditolak atau diputus bersamaan dengan pokok perkara pada putusan akhir.

Apabila eksepsi terhadap kewenangan absolut diterima, maka hakim akan menjatuhkan putusan (bukan bentuk penetapan) sebagai berikut :
- Mengabulkan eksepsi tergugat.
- Menyatakan bahwa eksepsi tergugat adalah tepat dan beralasan.
- Menyatakan pula bahwa pengadilan Agama tertentu tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
- Menghukum penggugat untuk membayar biaya dalam perkara ini yang hingga saat ini diperhitungkan sebanyak sekian.

Putusan tersebut adalah merupakan putusan akhir (eind vonnis) dan dapat dimintakan banding atau kasasi. Karena berbentuk putusan akhir maka penggugat dapat melakukan upaya banding terhadap putusan yang telah mengabulkan eksepsi tersebut.

Apabila eksepsi tersebut tidak diterima, maka hakim akan menjatuhkan putusan sela sebagai berikut :
- Sebelum memutus pokok perkara.
- Menolak eksepsi tergugat tersebut.
- Menyatakan bahwa Pengadilan Agama tertentu berwenang mengadili perkara tersebut.
- Memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk melanjtkan perkaranya.
- Menangguhkan putusan tentang biaya perkara hingga putusan akhir.

b. Eksepsi mengenai kompetensi relatif.
Kewenangan relatif ini diatur dalam Pasal 118 dan 133 HIR / pasal 142 dan 159 RBG, istilah lain eksepsi relatif adalah distributief exeptie. Sedang yang dimaksud dengan eksepsi relatif adalah ketidak wewenangannya suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilan lain dalam lingkungan peradilan yang sama.

Berbeda dengan eksepsi absolute, bahwa eksepsi relatif harus diajukan pada sidang pertama, atau pada kesempatan pertama dan eksepsi dimuat bersama-sama dengan jawaban, bila eksepsi kompetensi relatif disetujui, maka pengajuan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Manakala eksepsi terhadap kompetensi relatif tidak disetujui, maka hakim memutus hal tersebut bersamaan dengan pokok perkara, dan tidak tertutup kemungkinan exipient untuk banding yang diajukan bersama dengan putusan pokok perkara.

Dalam perkara perceraian, jika perkara perceraian diajukan ke Pengadilan Agama yang tidak berwenang maka hakim secara ex officio harus menyatakan diri tidak berwenang , hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak istri.

Apabila eksepsi ini tidak disetujui maka perkara diperiksa dan diputus dengan “putusan sela“. Upaya hukum terhadap putusan eksepsi ini dapat dilakukan hanya bersama-sama putusan pokok perkara, Tetapi jika eksepsi ini disetujui, maka gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima dan pemeriksaan terhadap pokok perkara dihentikan.
Bagi pihak yang tidak puas dengan putusan eksepsi relatif, dapat mengajukan banding.
Eksepsi relatif terdiri dari beberapa macam, namun tidak disebutkan dalam HIR. Walaupun demikian dalam praktek dipergunakan juga dalam beracara di Pengadilan Agama, beberapa macam eksepsi relatif tersebut antara lain adalah :
c. Eksepsi Nebis in idem (eksepsi van gewijsde zaak).
Suatu perkara tidak dapat diputus dua kali, sehingga suatu perkara yang sama antara pihak-pihak yang sama di pengadilan yang sama pula, tidak dapat diputus lagi. Apabila hal itu diajukan lagi oleh salah satu pihak maka pihak lain dapat menangkisnya dengan alasan “Nebis in idem”.
d Eksepsi Diskualifikator.
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan, atau kemungkinan salah penggugat menentukan tergugat baik mengenai orangnya dan/identitasnya.
e. Eksepsi Obbscurlible.
Eksepsi dilakukan karena adanya suatu kekaburan surat gugatan yang diajukan penggugat, kekaburan bias jadi karena tidak dapat dipahami mengenai susunan kalimatnya, formatnya, atau hubungan satu dengan lainnya tidak saling mendukung bahkan bertentangan.

2. Materiil Exceptie.
Yaitu eksepsi yang diajukan oleh pihak tergugat atau termohon betrdasarkan hukum materiil atau eksepsi yang langsung mengenai materi perkara atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Eksepsi materiil ini dibedakan menjadi :

a. Prematoir Exeptie.
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan karena belum memenuhi syarat menurut hukum. Misalnya alasan perkara gugatan belum memenuhi waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang atau apa yang digugat masih bergantung pada syarat-syarat tertentu (aan banging geding subjudice).
Contoh perkara gugat cerai karena pelanggaran ta’liq talak yang diajukan istri, dengan tuduhan suami selama tiga bulan tidak memberikan nafkah baginya, padahal suami tidak memberikan nafkah kurang dari tiga bulan sebagaimana alasan yang dibuat istri sebagai penggugat.

b. Dilatoir Exceptie.
Adalah Eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya oleh karena gugatan telah diajukan lampau waktu, seperti gugatan telah lampau waktu (verjaarch), nafkah istri yang terhutang telah terhapus dengan rujuknya suami, dan sebagainya

KHIYAR

Secara bahasa khiyar berarti memilih mana yang lebih baik dari dua hal atau lebih. Sementara secara terminologis menurut para pakar adalah ...