Rabu, 19 Juni 2013

Masalah Dalam Kewarisan



1.       ‘Aul

Secara bahasa al-aul artinya "bertambah". Sedang dalam fiqih mawaris, al-aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak daripada asal masalahnya sehingga asal masalahny harus ditambah / diubah.

Contoh penghitungan pada masalah aul :

1) Ahli waris terdiri dari suami dan 2 orang saudara perempuan kandung. Bagian masing-masingnya adalah :

Bagian suami 1/2 dan dua saudara perempuan kandung 2/3. Asal masalahnya adalah 6.
Suami = 1/2 x 6 = 3
2 saudara pr = 2/3 x 6 = 4
jumlah bagian saham = 7

Dalam kasus seperti ini, asal masalah 6 sedangkan jumlah bagian 7, ini berarti tidak cocok. Agar harta warisan dapat dibagikan kepada ahli waris dengan adil, maka asal masalah dinaikan menjadi 7, sehingga penyelesaiannya adalah :
Suami = 3/7 x harta warisan
2 saudara pr = 4/7 x harta warisan

2) Ahli waris terdiri dari istri, ibu, 2 saudara perempuan kandung dan seorang saudara seibu. Harta peninggalan Rp. 180 Juta, Bagian masing-masingnya adalah :

Maka hasilnya :

Istri memperoleh 1/4, ibu memperoleh 1/6, 2 saudara perempuan kandung memperoleh 2/3 dan saudara seibu memperoleh 1/6. Asal masalahnya 12.
Istri = 1/4 x 12 = 3
Ibu = 1/6 x 12 = 2
2 saudara pr = 2/3 x 12 = 8
Sdr ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah =15

Asal masalahnya 12, sedangkan jumlah bagian 15, maka asal masalah dinaikan menjadi 15. Cara penghitungan akhirnya :

Istri = 3/15 x 180 Juta = 36 Juta
Ibu = 2/15 x 180 Juta = 24 Juta
2 sdr kandung = 8/15 x 180 Juta = 96 Juta
Sdr seibu = 2/15 x 180 Juta = 24 Juta
Jumlah = 180 Juta

2.       Al- Radd

Secara bahasa, kata al-radd berarti "mengembalikan". Sedangkan menurut pengertian syara', al-radd adalah "membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing, setelah menerima bagiannya".
Radd dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris, ternyata masih ada sisa harta. Sedangkan ahli waris tidak ada 'ashabah. Maka sisa harta tersebut dibagikan kepada ahli waris yang ada, kecuali suami / istri.

Contoh penyelesaian dengan radd :

Ahli waris terdiri seorang anak perempuan dan ibu, dan harta yang ditinggalkan sebesar Rp. 60 Juta. Maka penyelesaiannya :
Bagian anak perempuan 1/2 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 6.
Anak PR = 1/2 x 6 = 3
Ibu = 1/6 x 6 = 1
Jumlah = 4
Asal masalah adalah 6, sedangkan jumlah bagian 4. Maka penyelesaiannya dengan radd, asal masalahnya dikembalikan kepada 4. Sehingga cara penyelesaian akhirnya :

Anak PR = 3/4 x 60 Juta = Rp. 45 Juta
Ibu = 1/4 x 60 Juta = Rp. 15 Juta

Cara penyelesaian diatas adalah apabila tidak ada suami / istri. Apabila ada suami / istri, cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut :
Seorang meninggal dengan meninggalkan harta sebesar Rp. 9 Juta Ahli warisnya terdiri dari istri, 2 orang saudara seibu dan ibu. Bagian istri 1/4, 2 orang saudara seibu 1/3 dan ibu 1/6. Asal masalahnya adalah 12.

Istri = 1/4 x 12 = 3
2 sdr = 1/3 x 12 = 4
Ibu = 1/6 x 12 = 2
Jumlah = 9

Karena ada istri, maka sebelum sisa warisan dibagikan, hak untuk istri diambil dulu dengan menggunakan asal masalah sebagai pembagi.
Maka untuk istri = 3/12 x Rp. 9 Juta = Rp. 2.250.000. Sisa warisan setelah diambil istri berarti Rp. Rp. 6.750.000 dibagi untuk 2 orang saudara seibu dan ibu, yaitu dengan cara bilangan pembaginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris, baginya adalah jumlah perbandingan kedua pihak ahli waris, yaitu 4+2=6. Maka bagian masing-masing adalah :

2 Sdr = 4/6 x Rp. 6.750.000 = Rp. 4.500.000
Ibu = 2/6 x Rp. 6.750.000 = Rp. 2.250.000
Jumlah = Rp. 6.750.000
Maka perolehan masing-masing ahli waris adalah :
Istri = Rp. 2.250.000
2 sdr = Rp. 4.500.000
Ibu = Rp. 2.250.000
Jumlah = Rp. 9 Juta

3.       Gharawain

Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya. Dua masalah tersebut adalah :

1. Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu, dan bapak.
2. Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu, dan bapak.

Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin thalib dan Zaid bin tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah karena jika dibagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil daripada ibu.

Untuk itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana di bawah ini :

1. Ntuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak 'ashabah. Misalnya harta peninggalannya adalah sebagai berikut :
Suami 1/2 x Rp 60 Juta = Rp. 30 Juta
Sisa = Rp. 30 Juta
Ibu 1/3 x Rp. 30 Juta = Rp. 10 Juta
Bapak = Rp. 20 Juta
Jumlah = Rp. 60 Juta

2. Untuk masalah kedua maka bagian masing-masing adalah istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak 'ashabah.

Misalnya harta peninggalan sebesar Rp. 90 Juta Cara pembagiannya adalah sebagai berikut :

Suami 1/4 x Rp 90 Juta = Rp. 22.500.000
Sisa = Rp. 67.500.000
Ibu 1/3 x Rp. 67.500.000 = Rp. 22.500.000
Bapak = Rp. 45 Juta
Jumlah = 90 Juta

4.       Musyarakah

Musyarakah, secara kebahasaan artinya yang "diserikatkan", yaitu jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris semestinya memperoleh warisan, tetapi tidak memperoleh, maka disyarikatkan kepada ahli waris yang memperoleh bagian.
Masalah musyarakah ini terjadi jika ahli waris terdiri dari suamu, ibu, 2 orang saudara seibu dan saudara laki-laki kandung. Jika dihitung menurut kaidah mawaris yang umum, saudara laki-laki tidak mendapat warisan. Padahal saudara laki-laki kandung lebih kuat daripada saudara seibu.

Hal ini dapat dilihat dalam pembagian dibawah ini :
Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6 = 1/6 = 1
2 sdr seibu 1/3= 2/6 = 2
Sdr lk ashabah = 0 = tidak mendapat bagian.

Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang diikuti oleh Imam Tsauri, Syafi'i dan lain-lain, pembagian seperti diatas tidak adil. Maka untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu di dalam bagian seperti yang 1/3 (dibagi dua untuk 2 orang saudara seibu dan saudara kandung).

Sehingga penyelesaiannya dapat dilihat dalam pembagian di bawah ini :

Suami 1/2 = 3/6 = 3
Ibu 1/6 = 1/6 = 1
2 Sdr seibu & kandung 1/3 = 2/6 = 2
Jumlah = 6
Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki kandung dibagi rata-rata, meskipun diantara mereka ada ahli waris laki-laki maupun perempuan.

Ahli Waris Yang Terhijab

1. Ahli waris yang terkena hijab nugshan

a. Ibu, terhijab oleh anak, cucu, dua orang saudara atau lebih, dari satu per tiga menjadi sati per enam
b. Bapak, terhijab oleh far' al-waris (anak / cucu), dari 'ashabah menjadi satu per enam
c. Suami, terhijab oleh far' al-waris (anak / cucu), dari satu per dua ke satu per empat
d. Istri, terhijab oleh far' al-waris (anak / cucu), dari satu per empat ke satu per delapan
e. Cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh adanya anak perempuan yang bagian satu per dua dan tidak bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki, dari satu per dua menjadi satu per enam
 
Ahli waris yang terhijab hirman adalah :

a. Cucu laki-laki terhijab oleh anak laki-laki
b. Kakek dari bapak terhijab oleh bapak
c. Saudara laki-laki sekandung terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
d. Saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- saudara laki-laki sekandung
- saudara perempuan sekandung bersama dengan anak / cucu perempuan
e. Saudara laki-laki seibu terhijab oleh
- anak laki-laki
- anak perempuan
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- cucu perempuan dari anak laki-laki
- bapak
- kakek
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung (keponakan), terhijab oleh :
- anak lak-laki
- cucu laki-laki dari anak lak-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan sekandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan
g. Anak lak-laki dari saudara laki-laki sebapak, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak lak-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
h. Paman kandung (saudara laki-laki bapak sekandung), terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
i. Paman (saudara laki-laki) sebapak terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
- paman sekandung
j. Anak laki-laki dari paman sekandung terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki sekandung
- saudara laki-laki sebapak saja
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- paman kandung
- paman sebapak
k. Anak laki-laki paman sebapak, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak
- saudara laki-laki kandung
- saudara laki-laki sebapak
- saudara perempuan kandung / sebapak bersama anak / cucu perempuan (dari anak laki-laki)
- anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- anak laki-laki dari saudara saudara laki-laki sebapak
- paman sekandung
- paman sebapak
- anak laki-laki paman sekandung
l. Cucu perempuan dari anak laki-laki, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- dua anak perempuan / lebih jika tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
m. Nenek dari pihak bapak terhijab oleh bapak
n. Nenek dari pihak ibu, terhijab oleh ibu
o. Saudara perempuan kandung, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
p. Saudara perempuan sebapak terhijab oleh :
- anak laki-laki
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- bapak
- saudara perempuan kandung dua orang atau lebih, jika tidak ada saudara laki-laki sebapak
- seorang saudar perempuan bersama anak / cucu perempuan ( dari anak laki-laki )
q. Saudara perempuan seibu, terhijab oleh :
- anak laki-laki
- anak perempuan
- cucu laki-laki dari anak laki-laki
- cucu perempuan dari anak laki-laki
- bapak
- kakek dari pihak bapak

Hadis Tentang Sumber Hukum

Bunyi hadist :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله قال أجتهد رأيي ولا آلو.....
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz ke Yaman bersabda : “Bagaimana engkau akan menghukum apabila dating kepadamu satu perkara ?”. Ia (Mu’adz) menjawab : “Saya akan menghukum dengan Kitabullah”. Sabda beliau : “Bagaimana bila tidak terdapat di Kitabullah ?”. Ia menjawab : “Saya akan menghukum dengan Sunnah Rasulullah”. Beliau bersabda : “Bagaimana jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah ?”. Ia menjawab : “Saya berijtihad dengan pikiran saya dan tidak akan mundur…”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 3592 dan 3593 dengan sanad-sanad sebagai berikut :

Sanad yang Pertama :
حدثنا حفص بن عمر عن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل
  1. Hafsh bin ‘Umar (حفص بن عمر)
  2. Syu’bah (شعبة)
  3. Abi ‘Aun (أبي عون)
  4. Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah (الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة)
  5. Shahabat Mu’adz dari kalangan penduduk kota Himsh (أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل).
  6. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).
Sanad yang Kedua :
حدثنا مسدد ثنا يحيى عن شعبة حدثني أبو عون عن الحرث بن عمرو عن ناس من أصحاب معاذ عن معاذ بن جبل
  1. Musaddad (مسدد)
  2. Yahya (يحيى)
  3. Syu’bah (شعبة)
  4. Abu ‘Aun (أبو عون)
  5. Al-Harits bin ‘Amr (الحرث بن عمرو)
  6. Beberapa orang shahabat Mu’adz (ناس من أصحاب معاذ)
  7. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).
Selain itu, hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 1327 dan 1328 dengan lafadh :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث معاذا إلى اليمن فقال كيف تقضي فقال أقضي بما في كتاب الله قال فإن لم يكن في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فإن لم يكن في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أجتهد رأيي.......
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman. Maka beliau bersabda : “Bagaimana engkau menghukum (sesuatu) ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan menghukum dengan apa-apa yang terdapat dalam Kitabullah”. Beliau bersabda : “Apabila tidak terdapat dalam Kitabullah ?”. Mu’adz menjawab : “Maka (saya akan menghukum) dengan Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Beliau bersabda kembali : “Apabila tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ?”. Mu’adz menjawab : “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya….”.
Sanad yang Pertama :
حدثنا هناد حدثنا وكيع عن شعبة عن أبي عون الثقفي عن الحرث بن عمرو عن رجال من أصحاب معاذ
  1. Hanaad (هناد)
  2. Waki’ (وكيع)
  3. Syu’bah (شعبة)
  4. Abi ‘Aun Ats-Tsaqafi (أبي عون الثقفي)
  5. Al-Harits bin ‘Amr (الحرث بن عمرو)
  6. Beberapa orang shahabat Mu’adz (رجال من أصحاب معاذ)
  7. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).
Sanad yang Kedua :
حدثنا محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر وعبد الرحمن بن مهدي قالا حدثنا شعبة عن أبي عون عن الحرث بن عمرو بن أخ للمغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص عن معاذ عن النبي صلى الله عليه وسلم
  1. Muhammad bin Basysyar (محمد بن بشار)
  2. Muhammad bin Ja’far (محمد بن جعفر) dan ‘Abdurrahman bin Mahdi (عبد الرحمن بن مهدي)
  3. Syu’bah (شعبة)
  4. Abi ‘Aun (أبي عون)
  5. Al-Harits bin ‘Amr, anak saudara Mughirah bin Syu’bah (الحرث بن عمرو بن أخ للمغيرة بن شعبة)
  6. Beberapa orang penduduk kota Himsh (أناس من أهل حمص)
  7. Mu’adz bin Jabal (معاذ بن جبل).

Senin, 17 Juni 2013

Eksepsi

PEMBUATAN BERITA ACARA SIDANG PENGADILAN AGAMA


Jawaban tergugat biasanya terdiri dari dua macam, yakni
  1. jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut dengan eksepsi.
  2. jawaban tergugat mengenai pokok perkara (verweer ten principle)
Arti harfiah eksepsi adalah tangkisan,
Sedangkan pengertiannya secara istilah adalah suatu sanggahan atau tangkisan yang dilakukan tergugat terhadap gugatan penggugat dimuka sidang Pengadilan Agama dan sanggahan tersebut tidak mengenai pokok perkara.
Tergugat yang mengajukan sanggahan (eksepsi) disebut “excipient”,
Maksud pengajuan eksepsi adalah agar hakim menetapkan gugatan tidak diterima atau ditolak.

Untuk memudahkan pemahaman kita dalam memaknai eksepsi, maka eksepsi dibedakan menjadi dua macam, yakni:
1. Eksepsi Formil (“Prosessual eksepsi”)
Eksepsi formil adalah eksepsi yang berdasar pada hukum formal (Hukum acara) yang berlaku.

Hukum formil meliputi :
a. Eksepsi mengenai kewenangan absolut.
Kewenangan absolut ini diatur dalam Pasal: 125 ayat (2), 134 dqn Pasal 136 HIR, / Pasal : 149 ayat (2) dan Pasal. 162 RBG.

Istilah lain eksepsi absolut adalah attributief exceptie.
Sedang yang dimaksud dengan eksepsi absolut ialah pernyataan ketidakwenangan suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilain lain dalam lingkungan peradilan yang berbeda.
Eksepsi absolut dapat diajukan di setiap saat dan disetiap tahap pemeriksaan, walaupun tidak diminta oleh pihak tergugat (Exepient), namun hakim secara ex ofisio harus menyatakan dirinya tidak berwenang memeriksa perkara tersebut.

Apabila eksepsi tehadap kompetensi absolut disetujui, maka putusan dinyatakan secara negatif bahwa pengadilan tidak berwenang , bila eksepsi terhadap kompetensi absolut tidak disetujui maka hakim melalui putusan sela menyatakan eksepsi ditolak atau diputus bersamaan dengan pokok perkara pada putusan akhir.

Apabila eksepsi terhadap kewenangan absolut diterima, maka hakim akan menjatuhkan putusan (bukan bentuk penetapan) sebagai berikut :
- Mengabulkan eksepsi tergugat.
- Menyatakan bahwa eksepsi tergugat adalah tepat dan beralasan.
- Menyatakan pula bahwa pengadilan Agama tertentu tidak berwenang mengadili perkara tersebut.
- Menghukum penggugat untuk membayar biaya dalam perkara ini yang hingga saat ini diperhitungkan sebanyak sekian.

Putusan tersebut adalah merupakan putusan akhir (eind vonnis) dan dapat dimintakan banding atau kasasi. Karena berbentuk putusan akhir maka penggugat dapat melakukan upaya banding terhadap putusan yang telah mengabulkan eksepsi tersebut.

Apabila eksepsi tersebut tidak diterima, maka hakim akan menjatuhkan putusan sela sebagai berikut :
- Sebelum memutus pokok perkara.
- Menolak eksepsi tergugat tersebut.
- Menyatakan bahwa Pengadilan Agama tertentu berwenang mengadili perkara tersebut.
- Memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk melanjtkan perkaranya.
- Menangguhkan putusan tentang biaya perkara hingga putusan akhir.

b. Eksepsi mengenai kompetensi relatif.
Kewenangan relatif ini diatur dalam Pasal 118 dan 133 HIR / pasal 142 dan 159 RBG, istilah lain eksepsi relatif adalah distributief exeptie. Sedang yang dimaksud dengan eksepsi relatif adalah ketidak wewenangannya suatu pengadilan untuk menerima, memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang sebenarnya menjadi kewenangan pengadilan lain dalam lingkungan peradilan yang sama.

Berbeda dengan eksepsi absolute, bahwa eksepsi relatif harus diajukan pada sidang pertama, atau pada kesempatan pertama dan eksepsi dimuat bersama-sama dengan jawaban, bila eksepsi kompetensi relatif disetujui, maka pengajuan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Manakala eksepsi terhadap kompetensi relatif tidak disetujui, maka hakim memutus hal tersebut bersamaan dengan pokok perkara, dan tidak tertutup kemungkinan exipient untuk banding yang diajukan bersama dengan putusan pokok perkara.

Dalam perkara perceraian, jika perkara perceraian diajukan ke Pengadilan Agama yang tidak berwenang maka hakim secara ex officio harus menyatakan diri tidak berwenang , hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak istri.

Apabila eksepsi ini tidak disetujui maka perkara diperiksa dan diputus dengan “putusan sela“. Upaya hukum terhadap putusan eksepsi ini dapat dilakukan hanya bersama-sama putusan pokok perkara, Tetapi jika eksepsi ini disetujui, maka gugatan penggugat dinyatakan tidak diterima dan pemeriksaan terhadap pokok perkara dihentikan.
Bagi pihak yang tidak puas dengan putusan eksepsi relatif, dapat mengajukan banding.
Eksepsi relatif terdiri dari beberapa macam, namun tidak disebutkan dalam HIR. Walaupun demikian dalam praktek dipergunakan juga dalam beracara di Pengadilan Agama, beberapa macam eksepsi relatif tersebut antara lain adalah :
c. Eksepsi Nebis in idem (eksepsi van gewijsde zaak).
Suatu perkara tidak dapat diputus dua kali, sehingga suatu perkara yang sama antara pihak-pihak yang sama di pengadilan yang sama pula, tidak dapat diputus lagi. Apabila hal itu diajukan lagi oleh salah satu pihak maka pihak lain dapat menangkisnya dengan alasan “Nebis in idem”.
d Eksepsi Diskualifikator.
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa penggugat tidak mempunyai hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan, atau kemungkinan salah penggugat menentukan tergugat baik mengenai orangnya dan/identitasnya.
e. Eksepsi Obbscurlible.
Eksepsi dilakukan karena adanya suatu kekaburan surat gugatan yang diajukan penggugat, kekaburan bias jadi karena tidak dapat dipahami mengenai susunan kalimatnya, formatnya, atau hubungan satu dengan lainnya tidak saling mendukung bahkan bertentangan.

2. Materiil Exceptie.
Yaitu eksepsi yang diajukan oleh pihak tergugat atau termohon betrdasarkan hukum materiil atau eksepsi yang langsung mengenai materi perkara atau bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Eksepsi materiil ini dibedakan menjadi :

a. Prematoir Exeptie.
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan karena belum memenuhi syarat menurut hukum. Misalnya alasan perkara gugatan belum memenuhi waktu yang ditetapkan oleh Undang-undang atau apa yang digugat masih bergantung pada syarat-syarat tertentu (aan banging geding subjudice).
Contoh perkara gugat cerai karena pelanggaran ta’liq talak yang diajukan istri, dengan tuduhan suami selama tiga bulan tidak memberikan nafkah baginya, padahal suami tidak memberikan nafkah kurang dari tiga bulan sebagaimana alasan yang dibuat istri sebagai penggugat.

b. Dilatoir Exceptie.
Adalah Eksepsi yang menghalangi dikabulkannya gugatan, misalnya oleh karena gugatan telah diajukan lampau waktu, seperti gugatan telah lampau waktu (verjaarch), nafkah istri yang terhutang telah terhapus dengan rujuknya suami, dan sebagainya

Selasa, 23 April 2013

"Jangan Terpaku di MASA LALU, tak perlu Mencemaskan MASA DEPAN, tapi Nikmatilah HARI INI dengan LUAR BIASA"

Sifat yg paling membingungkan adalah sifat manusia
Karena….
Manusia mau Mengorbankan Kesehatannya hanya Demi Uang.
Lalu….
Mengorbankan Uang nya demi Kesehatan
Manusia sangat khawatir dengan masa depannya, sampai dia tidak menikmati masa kini.
Akhirnya….
Dia tidak hidup di masa depan ata pun di masa kini.
Manusia hidup seakan-akan tidak akan mati, lalu dia mati tanpa benar-benar menikmati hidup
Bersyukurlah atas apa yg selama ini telah kita dapat dan nikmati.
Karena…
Kita tidak akan tahu, apa yg akan terjadi esok.
Ingat...
Ketika lahir, dua tangan kita kosong
Waktu datang dan pergi kita tidak bawa apa-apa.
Jangan sombong ketika kita kaya dan berkedudukan
dan
Jangan minder ketika kita miskin dan hina...Kita semua hanyalah tamu dan semua milik kita hanyalah pinjaman...

Untuk itu…
TETAPLAH RENDAH HATI,seberapa pun tingginya kedudukan kita...
TETAPLAH PERCAYA DIRI,seberapa pun kekurangan kita...
Karena kita hadir tidak membawa apa-apa dan pergi juga tidak membawa apa-apa...
Hanya pahala kebajikan dan dosa kejahatan yg dapat kita bawa...
Kita datang dan pergi ditemani oleh tangis...
Maka dari itu…
TETAPLAH BERSYUKUR, dalam kondisi apa pun...
Dan hiduplah di saat yang benar-benar ada dan nyata untuk kita
HIDUPLAH DI SAAT INI, bukan dari bayang-bayang masa lalu, maupun mencemaskan masa datang yang belum tiba...
===================
Dikutip dari (Mr.Jack and Jr/Senin, 22-04-13)
yang mengadopsi dari kalimat bijak yg dikirimkan BAPAK TOTOK (Kepsek SMAN 4 Semarang)


Senin, 22 April 2013

Batas Usia Cakap Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan

Ketidakseragaman baatasan usia dewasa dalam peraturan undang-undang di Indonesia sering menimbulkan  pertanyaan tentang batasan umur yang  mana yang sseharusnya digunakan.
Anak Belum Dewasa :
1.       Kitab Undang-Undang (Burgelijk Wetboek) pada pasal 330 :
>>Seseorang yang dikatakan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.
2.       Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  pasal 7:
>>(Seseorang dikatakan belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 18 tahun)
kemudian dengan keluarnya  UU No. 16 tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 1974 yang disahkan tanggal 14 Oktober 2019 yang mulai berlaku pada tanggal 15 Oktober 2019
>> pada Pasal 7 " Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun"
3.       Undang-undang No. 13 tahun 2003  tentang ketenagakerjaan pasal 1 angka 26 :
>>Anak adalah mereka yang berumur di bawah 18 tahun
4.       Undang-Undang no.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pasal 1 angka 8:
Anak didik pemasyarakatan adalah :
a.       Anak pidana yaitu yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak, paling lama sampai umur 18 tahun.
b.      Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan diitempatkan di lapas anak, paling lama sampai berumur 18 tahun.
c.       Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan ppengadilan untuk dididik di LAPAS anak, paling lama sampaiberumur 18 tahun

5.       Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pasal 1:
Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin

6.       UU No.39  tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 angka 5 :
Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
7.       UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1):
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan
8.       UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi pasal 1 ayat (4)
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun
9.        UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI  pasal 4 :
Warga negara  Indonesia adalah a-g:
Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan tersebut dilakukan sebelum anak tersebut berumur 18 tahun atau belum kawin.

10.   UU No. 21 tahun tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak pidana Perdagangan Orang pasal 1 angka 5:
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Umur Dewasa:
1.       KHI pasal 98 ayat 1:
Batas umur anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan
2.       SK Mendagri Dirjen Agraria Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) No. Dpt. 7/539/7-77 tertanggal 13-7-1977
Mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam:
a.       Dewasa politik adalah 17 tahun untuk dapat ikut pemilu
b.      Dewasa seksuil misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut undang-undang perkawinan yang baru;
c.       Dewasa hukum dimaksud adalah batas umur tertentu menurut hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hokum.



Senin, 15 April 2013

IJTIHAD NU

Oleh KH. MA. Sahal Mahfudh

Jakarta.NU.Online.
Nahdlatul Ulama (NU), sebagai jam'iyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima'iyah, sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jama'ah sebagai basis teologi (dasar beraqidah) dan menganut salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali sebgai pegangan dalam berfiqih. Dengan mengikuti empat mazhab fiqih ini, menunjukkkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajat) meskipun kenyataan keseharian ulama NU menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi'i. Hampir dapat dipastikan bahwa Fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari mazhab Syafi'i. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional - berpaling ke mazhab lain.

Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji') berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan jinayah/qadla (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun dlaruriyah (kebutuhan primer).

Dalam memutuskan sebuah hukum, sebagaimana dimaklumi, NU mempunyai sebuah forum yang disebut bahtsul masa'il yang dikoordinasi oleh lembaga Syuriyah (legislatif). Forum ini bertugas mengambil keputusan tetang hukum-hukum Islam baik yang berkaitan dengan masa'il fiqhiyah (masalah fiqih) maupun masalah katauhidan dan bahkan masalah-masalah tasawuf (tarekat). Forum ini biasanya diikuti oleh Syuriyah dan ulama-ulama NU yang berada di luar struktur organisasi termasuk para pengasuh pesantren. Masalah-masalah yang dibahas umumnya merupakan kejadian (waqi'ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang diajukan kepada Syuriyah oleh organisasi ataupun perorangan. Masalah-masalah itu setelah di inventarisasi oleh Syuriyah lalu diadakan skala prioritas pembahasannya. Dan apabila dalam pembahasan itu terjadi kemacetan (mauquf) maka akan diulang pembahasannya dan kemudian dilakukan ke tingkat organisasi yang lebih tinggi: dari Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.

Dari segi historis maupun operasionalitas, bahtsul masa'il NU merupakan forum yang sangat dinamis, demokratis dan "berwawasan luas". Dikatakan dinamis sebab persoalan (masa'il) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut tidak ada perbedaan antara kiai, santri baik yang tua maupun muda. Pendapat siapapun yang paling kuat itulah yang diambil. Dikatakan "berwawasan luas" sebab dalam forum bahtsul masa'il tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf. Salah satu contoh untuk menunjukkan fenomena "sepakat dalam khilaf" ini adalah mengenai status hukum bunga bank. Dalam memutuskan masalah krusial ini tidak pernah ada kesepakatan. Ada yang mengatakan halal, haram atau subhat. Itu terjadi sampai Muktamar NU tahun 1971 di Surabaya. Muktamar tersebut tidak mengambil sikap. Keputusannya masih tiga pendapat: halal, haram atau subhat. Ini sebetulnya merupakan langkah antisipatif NU. Sebab ternyata setelah itu berkembang berbagai bank dan lembaga keuangan modern yang dikelola secara profesional. Orang pada akhirnya tidak bisa menghindar dari persoalan bank.

***

Secara historis, forum bahtsul masa'il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO, selain memuat hasil, bahtsul masa'il juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain, begitru seterusnya. Dokumentasi tentang LINO ini ada pada keluarga (alm) KH. Abdul Hamid, Kendal. Lewat LINO ini pula ayah saya (KH. Mahfudh Salam) saat itu bertentangan dengan Kiai Murtadlo, Tuban mengenai hukum menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Itu bukan berarti tukaran (konflik), tetapi hannya sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. Kiai Mahfudh membolehkan khutbah diterjemahkan sementara Kiai Muratadlo tidak. Sampai sekarang tradisi khutbah di daerah Tuban tidak ada yang diterjemahkan.

Sering muncul krtik bahwa forum bahtsul masa'il NU tidak dinamis, hanya berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama, bukan manhaj (metodologi) dan Syafi'iyyah sentris. Krtitik tersebut sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Misalnya dulu forum bahtsul masa'il mengharamkan orang Islam memakai jas dan dasi karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir. Tetapi KH. Wahab Khasbullah sendiri setelah merdeka selalu memakai sarung dan dasi. Ini tidak ada dalilnya (qaulnya). Itu berdasakan manhaj. Tidak ada kitab-kitab fiqih yang secara tekstual menulis "haruma al-dasi awa al- jas lainnahu..." (diharamkan dasi dan jas karena...). Contoh lain misalnya, para kiai NU dalam memberikan fatwa hukum sering memakai kaidah-kaidah fiqih atau ushul fiqih. Hanya saja masalahnya para kiai NU meskipun sudah memberi fatwa hukum berdasarkan kaidah fiqih mereka tidak mau kalau tidak ada landasan teks/nashnya. Jadi kelihatan tekstual tetapi sebetulnya penuangan teks itu selah melalui proses berfikir manhajy yang panjang dan njlimet.

Penuangan dasar teks ini, kemudian menimbulkan adanya kesan bahwa kai NU hanya bermazhab fi al-aqwal (dalam pendapat hukum) tidak fi al-manhaj (dalam metodologi). Tetapi sebenarnya, para ulama NU juga memegangi dan mempelajari manhaj Imam Syafi'i. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti Waraqat, Hujjat al-Wushul, Lam' al-Jawami', al-Mushtasyfa, al-Ashbah wa al-Nadha'ir, Qawaid Ibnu Abd al-Salam dan lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Dalam hal ini metodologi itu digunakan utnuk memperkuat pemahaman atas masa'il furu'iyah (masalah yang tidak prinsip) yang ada pada kitab-kitab fiqih di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-masa'il bi nadhairiha (menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu yang sama yang telah ada) tidak untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-ashliyyah (penggalian hukum dari sumber pokoknya). Ini saya kira satu kekurangan tersendiri.

Bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan tahun lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial, politik dan kebudayaannya sudah berbeda. Dan hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika hanya melulu berlandaskan pada rumusan teks, bagaimana jika ada masalah hukum yang tidak ditemukan dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus mauquf (tak terjawab)?. Padahal memauqufkan persoalan hukum, hukumnya tidak boleh bagi ulama (fuqaha). Disinilah perlunya "fiqih baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qawa'id (kaidah-kaidah fiqih).
(Bersambung)


Pemikiran tentang perlunya "fiqih baru" ini sebetulnya sudah lama terjadi. Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang "tajdid" karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan kontemporer di samping munculnya ide konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu berkali-kali diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah dan pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan "fiqih baru" itu. Kesepakatan telah dicapai, yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masa'il yang tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat pengembangan pemikiran keislaman dan kajian kitab.

Dalam halaqah ini juga disepakati perlunya melengkapi referensi madzhab selain syafi'i dan perlunya penyusunan sistematika bahasan yang mencakup pengembangan metode-metode dan proses pembahasan untuk mencapai tingkat kedalaman dan ketuntasan suatu masalah. Rumusan "fiqih baru" ini kemudian di bahas secara intensif pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta yang kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama di Lampung, 1992. Di dalam hasil Munas tersebut diantaranya disebutkan perlunya bermazhab secara manhaji (metodologis) serta "merekomendasikan" para kiai NU yang sudah mempunyai kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung dari teks dasar. Jika tidak mampu maka diadakan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif). Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun ilhaq (qiyas).


Pengertian istinbath hukum di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan Sunnah akan tetapi - sesuai dengan sikap dasar bermazhab - mentathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (cenderung ke arah perilaku ijtihad yang oleh ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan yang disadari oleh mereka. Terutama di bidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap yang harus dikuasai oleh yang namanya muj'tahid. Sementara itu, istinbath dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakukan oleh semua ulama NU yang telah mampu memahami ibarat kitab-kitab fiqih sesuai dengan terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalngan NU terutama dalam kerja bahtsu masa'il-nya Syuriyah NU tidak populer karena kalimat itu telah populer di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriyah tidak dilakukan karena keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masa'il yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang terjadi) melalui maraji'(referensi) yaitu kutubul-fuqaha (kitab-kitab karya para ahli fiqih).

Kenyataan mengenai terlalu dominannya Mazhab Syafi'i memang ada. Pendapat para ulama Syafi'iyah masih cukup dominan dalam forum bahtsul masa'il NU. Namun demikian perlu saya jelaskan bahwa dominasi Sayfi'i bukan berarti ulama NU menolak pendapat (aqwal) ulama di luar Sayif'iyyah. Hal itu dilakukan lantaran para kiai NU memang tidak mempunyai referensi lain di luar mazhab Syafi'i semisal kitab al-Mudawanah (Imam Malik?), Kanzal al-Wushul (Bazdawi al-Hanafi), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Ibnu Hazm), Raudhat al-Nadhir wa Jannat all-Munadhir (Ibnu Qudamah al-Hanbali) dan lain-lain. Karena itu jangan heran jika keputusan bahtsul masa'il selalu sarat dengan kitab-kitab Syafi'i mulai dari yang paling kecil semisal Safinat al-Shalah kaya Imam Nawawi Banten sampai dengan yang paling besar seperti al-Um atau al-Majmu'. Sangat sulit dijumpai dalam kepustakaan mereka kitab-kitab lain di luar Syafi'i kecuali sebagian kecil ulama. Ini karena di samping harganya belum terjangkau juga lantaran kitab-kitab itu masih sulit diperoleh di Indonesia. Seandainya mereka mempunyai referensi lain selain mazhab Syafi'i tentu mereka akan menerima sepanjang bias dinalar dan tidak bertentangan dengan akar cultural masyarakat setempat.Hal ini terbukti dengan keputusan bahtsul masa'il NU belakangan ini yang diwarnai dengan pendapat di luar mazhab Syafi'i.


Walaupun terlihat kuat pengaruh mazhab Syafi'i bukan berarti menolak apalagi antipati terhadap ulama lain. Sejak dulu para kiai tidak mengharuskan Syafi'i saja. Satu misal, masyarakat di banyak daerah menggunakan qaul di luar Syafi'i mengenai padi yang belum dizakati tapi si penuai padi sudah diberi upah. Padahal, memberi upah kepada penuai padi (istilah jawa derep) sementara padi belum di zakati menurut Syafi'i tidak boleh. Akan tetapi sejak dulu, sejak saya masih kecil, upah selalu di berikan sebelum padi di zakati. Pendapat ini diambail dari Imam Ahmad. Semua kiai memakai itu karena mereka umumnya petani. Hanya saja intiqal (pindah) ke mazhab-mazhab itu masih menggunakan referensi kitab Syafi'iyah yang menyinggung mazhab lain dan mereka tidak pernah mengambil referensi langsung dari mazhabnya. Baru sekarang ada perkembangan sejumlah kiai sudah mengoleksi kitab-kitab non-Syafi'iyah. Jadi persoalan ini jangan lantas dijadikan dasar kritik. Memang mereka tidak memiliki kitab lain. Misalnya, Kiai Bisri Syansuri pada saat membolehkan KB berpegang pada pendapat Gahazali yang menyatakan kebolehan KB, meskipun dengan motifasi supaya istri awet muda. Pendapat ini sangat luar biasa sebab dulu kiai-kiai lain masih ketat soal ber-KB ini. Secara budaya, NU sudah biasa mempraktikkan pendapat di luar Syafi'i.
(Bersambung)

*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah PBNU

Bahsul Masail dan Istinbath Hukum NU
Sabtu, 3 Mei 2003 13:08 WIB


Oleh KH. MA. Sahal Mahfudz*
Bagian terakhir

Memang harus diakui keputusan Lampung belum operasional di seluruh wilayah NU karena di samping sosialisasinya masih lemah juga keterbatasan referensi yang tersedia. Meskipun begitu sudah ada perkembangan misalnya soal intiqal atau pindah mazhab. Dulu takut talqif sekarang sudah tidak lagi.
Saya masih ingat perkataan Kiai Wahab, meskipun kelakar tapi sangat menarik. Suatu saat (ketika saya masih di pesantren) saya sowan ke tempat Kiai Bisri Syansuri di Jombang yang kebetulan di sana sedang ada pertemuan pengurus Syuriyah PB NU. Di sana ada Kiai Wahab, Kiai Jalil Kudus, Kiai Dahlan dan lain-lain sedang membahas sisa-sisa bahtsul masa'il yang belum di bahas di Muktamar.

Pada waktu itu, Kiai Bisri dan Kiai Wahab pertentangan (berdebat sengit) membahas soal status Yayasan Yamualim di Semarang yang mengurusi ibadah haji. Kiai Bisri menentang pendirian Yayasan itu karena tergolong "muamalat yang tidak jelas". Sementara Kiai Wahab membolehkan karena di samping omsetnya cukup besar, NU juga sangat memerlukannya. Saat itu Kiai Wahab sempat bilang "Pekih itu kalau rupek ya di okeh-okeh" (fiqih itu kalau menyempitkan ya diupayakan agar longgar). Pernyataan ini memang kelakar tetapi mengandung nilai filosofis yang tinggi. Maksudnya, fiqih itu merupakan produk ijtihady. Karena produk ijtihad maka keputusan fiqih bukan barang sakral, yang tidak boleh di ubah meskipun situasi sosial budayanya sudah melaju kencang.

Pemahaman yang mensakralkan fiqih jelas keliru. Dimana-mana yang namanya fiqih adalah "al-ilmu bi al-ahkam al-syar'iyah al-amalaiyah al-muktasab min adillatiha tafshiliyah". Definisi fiqih sebagai al-muktasab (sesuatu yang digali) menunjukkan pada sebuah pemahaman bahwa fiqih lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. Produk fiqih tidak hanya hasil dari penalaran intelektual (rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu tetapi juga kerja ilmiah. Contohnya adalah penggunaan metode riset ('istiqra') yang dilakukan Imam Syafi'i untuk melahirkan hukum fiqih tentang menstruasi (haidl).

Para ulama klasik juga sering melibatkan disiplin ilmu lain diluar fiqih untuk menentukan status hukum masalah tertentu. Misalnya ilmu falak (hisab) dan ikhtilaf al-mathla' dalam hal penentuan awal Ramadhan dan Syawal, ma'rifat al-qiblah dan ma'rifar al- waqti dalam hal shalat dan penemuan obat-obatan dalam kontrasepsi (man' al-hamli, ibhta' al hamli) dalam masalah nikah. Semua itu menunjukkan bahwa fiqih merupakan "produk ijtihady".


Sebagai produk ijtiahd, maka sudah sewajarnya jika fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks lingkungan" keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbabul- wurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu' al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta'liqat juga dipandang sebagai "figuran" yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks. Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqat sering ditemukan adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl), atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di lingkungan NU.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad maka para fuqaha terdahulu baik al-a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap berpegang pada kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad, yakni bahwa suatu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku dan tidak pula permanen.

Dalam konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu mu'tabar berarti disitu ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad" diatas. Masalah kutub al-mu'tabarah ini dirumuskan di Muktamar Situbondo (tahun 1984). Saat itu saya sebagai ketua komisi dan masih sebagai Rais Syuriyab PWNU Jateng. Kutubul-mu'tabarah itu maksudnya kitab-kitab Ahlussunah dan dipersempit lagi kitab-kitab madzahib. Kitab-kitab di luar ahl madzahib tidak boleh dipakai. Contohnya kitab-kitab yang mengkritik tawasul, praktik tarekat,kewalian dan lain-lain seperti karya Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qoyyim.

Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaidah atau pepatah Arab: khuz ma shafa watruk ma qadlara (ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh). Para kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap syaddan li dzari'ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab tersebut dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar karena itu jangan menggunakan pendekatan like & dislike, ini mu'tabar, itu tidak. Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan Sunni. Hanya mungkin pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab "tawasul" kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa digunakan. Tentu tetap harus mempertimbangakn latar budaya masyarakat agar kita bisa diterima oleh semua komunitas yang majemuk ini.

Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya keadilan sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Dunia, kekuasaan, negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma'a al-kufri dan negara itu akan hancur dengan kezaliman meskipun ma'a al-muslimin". Ibnu Taimiyah juga pernah berkata: "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) Muslim". Dalam kerangka berfikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya "fiqih politik" (fiqh siyasah) yang seirngkali diktum-diktumnya tidak seirama dengan gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan hukum. Rumusan fiqih siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim sebagai "kelas dua" bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya rasa pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga bertentangan dengan ide negara-bangsa (nation-state) seperti Indonesia. Profesionalisme, kemampuan atau kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama, bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan.

Ada satu contoh kecil. Suatu hari saya menitipkan barang kepada seorang yang dapat dipercaya dan kebetulan ia bukan Muslim. Pertanyaannya apakah boleh menitipkan barang kepada dia? Kan lucu kalau tidak boleh. Tentu tidak semua persoalan harus melibatkan non-Muslim dengan dalil demokrasi. Kalau mengenai urusan-urusan yang berkaitan dengan permasalahan umat Islam seperti penyusunan UU zakat tentu mereka tidak boleh dilibatkan, sebab bukan kompetensinya. Jadi, prinsipnya pada kata keadilan (kemaslahatan). Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru. Harus diingat bahwa yang namanya fiqih itu mesti ijtihady. Fiqih siyasah itu sendiri bukan sebatas kekuasaan tapi lebih pada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan kemaslahatan umum. Rasul sendiri pernah berkata: "Antum a'lamu biumri dunyakum". Artinya, pada wilayah "non-ibadah" semisal kepolitikan, umat Islam diberi kebebasan penuh untuk me-rumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter sehingga bisa diterima semua pihak. Rumusan itu harus mengacu pada prinsip maqashid syari'ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama (hifdz al-din), (2) melindung jiwa dan keselamtan fisik (hifdz al-nafs), (3) melindungi kelangsungan keturunan (hifdz al-nasl), (4) melindungi akal pikiran (hifdz al-‘aql), (5) melindungi harta benda (hifdz al-mal). Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek pemyembahan Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan yang tidak dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Dalam kerangka pandang ini,maka aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat ubudiyah murni) harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-tugas peribadatan dilaksanakan dengan baik.
***

Demikianlah catatan pengantar dari saya, selanjutnya ke depan para ahli bahtsul masa'il harus mengantisipasi kemajuan dan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Artinya bahwa kebutuhan manusia dan proses perubahan itu akan terus bergulir secara cepat. Kalau tidak cepat direspons kita akan ketinggalan dan nanti akan ada satu masalah yang mauquf.. Dan kalau sampai ada masalah hukum yang mauquf maka hukumnya dosa bagi para ahli fiqih. Dalam merumuskan masalah hukum harus tetap berpegang pada prinsip maqashid al-syari'ah serta memperhatikan kaidah-kaidah hukum yang lebih bersifat nilai (baca: legal value). Nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan, kejujuran, kebebasan, persamaan di muka hukum, perlindungan hukum terhadap masyarakat tak seagama serta menjunjung tinggi supremasi hukum Allah. Dengan begitu keputusan bahtsul masa'il tidak kehilangan relevansi dengan semangat demokrasi dan pluralisme.

Atas penerbitan buku bunga rampai yang membahas mengenai tradisi system bahtsul masa'il NU yang umumnya ditulis para generasi muda NU ini saya sangat menyambut positif jika ditulis dengan jujur dan berdasarkan pada fakta yang terjadi. Diharapkan dengan penerbitan buku ini semakin memicu dan meningkatkan profesionalitas dan kinerja para ahli bahtsul masa'il dalam menjalankan kerja ilmiahnya.

***


*Penulis adalah Rais 'Aam Syuriah PBNU

IJTIHAD

A.    Pendahuluan.
Dalam kajian ushul fiqh dikenal istilah al-ijtihad yang berasal dari kata ijtahada yang berarti جدّ و بذل وسعها , yakni bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala kemampuannya, maka ijtihad secara etimologi adalah, kesungguhan, kegiatan dan ketekunan.  Sedangkan secara terminologi adalah, “mencurahkan semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat zhanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”
Adapun Wahbah Zuhaili, menyimpulkan dengan singkat tentang makna ijtihad dari pengertian-pengertian yang ia dapatkan, yakni :
وأنسب تعر يف في رأينا من التعار يف المنقولة هو ما ذكره القاضي البيضاوي وهو استفراغ الجهد في إدراك الأحكام الشرعية
Artinya : “Dan defenisi yang paling sesuai menurut pendapat kami dari defenisi-defenisi yang disadur adalah, apa yang telah disampaikan oleh Qadi al-Baidhawi, bahwa (Ijtihad) adalah mengarahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syara’.”
Membahas tentang metode Ijtihad berarti harus mengkaji lebih mendalam tentang ushul al-fiqh  yang dipakai sebagai sarana untuk mendalami keilmuan seorang mujtahid sekaligus sebagai salah satu sayarat untuk menjadi seorang mujtahid. Adapun dalam pengaplikasian-nya, ijtihad terbagi menjadi dua gerak, yang pertama, ijtihad fardhi (individual), yakni suatu ijtahad yang dilakukan oleh orang seorang atau beberapa orang, tidak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang lain menyetujuinya. Jenis ijtihad ini mungkin dilakukan jika masalah atau kasus yang menjadi objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sederhana, sehingga tidak memerlukan penelitian atau kajian dari berbagai disiplin ilmu. Kedua, ijtihad jama’i (kolektif) : Suatu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama) dan disepakati oleh semua mujtahid. Ijtihad dalam benntuk ini terjadi karena masalah yang diselesaikan sangat kompleks (rumit) meliputi bidang yang luas, sehingga perlu melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang spesialis pada satu bidang tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang paling populer diterapkan di Indonesia adalah pola ijtihad jama’i, hal ini dikarenakan tidak adanya penyebutan dan otoritas mufti yang luas dan diangkat oleh negara dalam menjawab permasalahan-permasalahan hukum Islam di Indonesia, oleh karenanya muncullah lembaga-lembaga Islam non government seperti MUI, NU dan Muhammadiyah yang seolah-olah memiliki otoritas mutlak dan tertinggi dalam menetapkan permasalahan hukum Islam di Indonesia, sehingga memunculkan jawaban yang akan berbeda antara satu sama lainnya. Seperti “Rokok” misalnya, di mana MUI mengharamkannya bagi anak-anak, remaja, wanita hamil, dan di tempat umum juga haram.  Muhammadiyah mengharamkannya secara mutlak.  Sedangkan NU mengklasifikasikan hukumnya pada tiga hal ; (1) hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudharat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan, (2) hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudharat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram, (3) hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudharat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Dengan melihat ketiga organisasi masyarakat Islam di atas yang sama-sama sangat menonjolkan ego ke“aku”annya, menunjukkan adanya ketidak sehatan dalam beragama di Indonesia,  padahal sejak pasca kemerdekaan, begitu banyak para pemikir Islam (ulama’) Indonesia yang memberikan solusi pemersatuan pola pikir umat Islam Indonesia dengan mencanangkan adanya fiqh Indonesia  yang tentunya beserta metodenya. Bahkan Menteri Agama Indonesia pertama, yakni KH. Wahid Hasyim dengan pemikiran yang begitu brilliant mendirikan Departemen Agama (saat ini berubah nama menjadi Kementerian Agama) sebagai rumah bersatunya umat Islam, bahkan juga untuk tempat komunikasi semua agama. Akan tetapi yang terjadi sampai saat ini adalah, Kementerian Agama belum memiliki moment untuk menjadikan dirinya sebagai rumah ijtihad kolektif, sehingga memunculkan fiqh Indonesia yang produknya tidak akan diremehkan oleh umatnya sendiri. Oleh karenanya, melalui permasalahan inilah penulis akan mencoba untuk mencairkannya dalam tulisan yang singkat ini dengan mencoba merumuskan Kementerian Agama sebagai rumah ijtihad kolektif beserta metodenya. Berikut penjelasannya.

B.    Pembahasan.
Sebelum menjelaskan tentang Kementerian agama sebagai rumah ijtihad kolektif di Indonesia beserta metodenya (sebagai sebuah alternatif), berikut penulis paparkan beberapa metode ijtihad yang ada di Indonesia.
1.    Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tim Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang disebut dengan Universitas Islam Negeri Jakarta) dalam Ensiklopedi Islam Indonesia menyebutkan, bahwa pembentukan MUI ini telah membuka sejarah baru dalam usaha mewujudkan kesatuan umat Islam Indonesia dalam satu forum tingkat nasional yang dapat menampung, menghimpun dan mempersatu-kan pendapat dan pikiran ulama atau umat Islam secara keseluruhan.  Dan hasilnya, MUI tumbuh berkembang dengan pesat di bumi nusantara ini,  hal ini dikarenakan tujuan dari adanya MUI adalah untuk ikut serta berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur, yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka MUI sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia yang kepengurusanya terdiri dari ulama, umara’ dan zu’ama’,  sangat berkepentingan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam Indonesia termasuk permasalahan kenegaran yang berhubungan dengan Islam berupa putusan fatwa. Dan kecenderungan untuk menjadi oportunis sangat terbuka lebar, karena melekatnya ulama dengan umara’. Adapun prosedur yang dilakukan oleh MUI yang pertama adalah, masalah diajukan (dihadapi) MUI untuk dibahas dalam rapat komisi untuk mengetahui substansi dan duduk masalahnya. Kedua, dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang bekaitan dengan masalah yang akan difatwakan untuk didengarkan pendapatnya untuk dipertimbangkan. Ketiga, setelah pendapat ahli didengar dan dipertimbangkan, ulama melakukan kajian terhadap pendapat para imam madzhab dan fuqaha’ dengan memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai istidlal-nya dan kemashlahatannya bagi umat. Apabila pendapat para ulama seragam atau hanya satu ulama yang memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa. Keempat, jika fuqaha’ memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan. Kelima, jika tarjih tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat melakukan dengan ( إلحاق المسائل بنظائرها ) dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ‘alaih dan wajh al-ilhaq (pasal 5). Keenam, apabila cara ilhaq tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi dapat melakukan ijtihad jama’i dengan menggunakan al-qawa’id al-ushuliyah dan al-qawa’id al-fiqhiyah.
Prosedur di atas menunjukkan bahwa metode istinbath hukum MUI adalah dengan standar al-Qur’an, al-sunnah, dan ijtihad jama’i (kolektif) yang melibatkan para ulama dari berbagai disiplin ilmu, bahkan juga para pakar/ahli sesuai bidang masalah yang dibahas. Metode penetapan fatwa dilakukan Komisi Fatwa MUI melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan nash qath’i, pendekatan qauli dan pendekatan manhaji. Namun, jika diteliti secara seksama, dari apa yang ditentukan oleh MUI di atas maka akan didapatkan bahwa seluruh kegiatan fatwa mereka hampir dipengaruhi oleh cara berpikir istinbath para aimmah al-madzahib (Imam madzhab empat yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) dan terkadang lebih condong kepada pemikiran madzhab Syafi’i yang dikembangkan oleh NU di Indonesia, sebagai contoh adalah prosedur ilhaq dan penggunaan al-qawa’id al-ushuliyah dan al-qawa’id al-fiqhiyah. Hal ini dapat terjadi dikarenakan masuknya madzhab Syafi’i kedalam masyarakat Indonesia lebih banyak mempengaruhi pemikiran ulama’ yang dikembangkan di pesantren-pesantren dibandingkan madzhab lain. Telaah yang penting untuk diperhatikan adalah, bahwa MUI dilihat dari sturktur kepengurusannya sangat eksklusif, karena hanya tergolong orang-orang yang berada di bawah naungan MUI saja.
2.    Nahdhatul Ulama (NU).
Pola ijtihad yang dilakukan oleh NU adalah pola bermadzhab, baik bermadzhab secara qauli  maupun manhaji . Akan tetapi sebenarnya, mayoritas ulama NU hanya memegang dan mempelajari manhaj imam Syafi’i. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti Waraqat, Hujjah al-Wushul, Lam’u al-Jawami’, al-Mushtasyfa, al-Asybah wan al-Nazha’ir dan lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Namun, akibat perkembangan dan rumitnya persoalan-persoalan hukum baru yang dipertanyakan komunitas warga NU telah memotivasi para kyai muda NU untuk bukan hanya “terhipnotis” mencari ‘ibarah dalam literatur-literatur klasik yang diakui keabsahannya, tetapi lebih dari itu, mereka mulai “berani” mengkritisi karya-karya ulama terdahulu (kitab-kitab kuning). Atas dukungan KH. Sahal Mahfudh dan KH. Imron Hamzah, para kyai muda mengadakan mudzakarah dengan tema “Telaah Kitab Secara Kontekstual” di Pondok Pesantren Watu Congol-Muntilan-Magelang Jawa Tengah (15-17 Desember 1988). Muzakarah (seminar) ini menghasilkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut; pertama, memahami teks kitab harus dibarengi dengan konteks sosial historisnya; kedua, mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; ketiga, memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain; keempat, meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik; dan kelima, menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.
Upaya pemikiran dinamis dalam merumuskan metode Bahtsul Masa’il di atas terus berlangsung hingga dibahas dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Islamic Centre Raja Basa Bandar Lampung (21-25 Januari 1992/ 16-20 Rajab 1412).  Namun kemudian, redaksi prosedur penjawaban yang dihasilkan pada tahun 1992, direvisi dan dilengkapi dalam Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Donohudan Boyolali-Solo Jawa Tengah, dengan urutan sebagai berikut :
a.    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dari kutubul madzahib al-arba’ah dan di sana hanya terdapat satu pendapat dari kutubul madzhab al-arba’ah, maka dipakailah pendapat tersebut.
b.    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu pendapat maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut ;
1)    Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
2)    Khusus dalam madzhab Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar  ke I (1926), perbedaan pendapat disesuaikan dengan cara memilih ;
a)    Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’i).
b)    Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.
c)    Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’i.
d)    Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.
e)    Pendapat ulama yang terpandai.
f)    Pendapat ulama yang paling wara’.
c.    Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur Ilhaqul Masail bi nazhairiha secara jama’i oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bihi dan wajhul Ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
d.    Dalam kasus tidak mungkin dilakukan Ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath  jama’i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id ushuliyyah oleh para ahlinya.
Gambar 1
Cara Ijtihad Lembaga Bahtsul Masa`il Nahdhatul Ulama
تقر ير الجماعي
الإجتهاد    أخذ عبارة الكتاب                 الحاق المسائل بنظائرها
استنباط الجماعي
الأحكام الإسلامية
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa bagi NU, “bahtsul masa’il tidak saja dimanfaatkan sebagai forum yang sarat dengan muatan kitab-kitab klasik, tetapi juga merupakan lembaga di bawah NU yang menjadi sarana penting yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hukum agama bagi kaum Nahdliyin” . Karena dengan sarana bahtsul masa’il, maka fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan atau dihasilkan akan tersosialisasikan ke daerah-daerah sampai kepelosok tanah air. Bahkan bagi masyarakat NU yang awam, keputusan bahtsul masa’il ini dianggap sebagai rujukan dalam praktik kehidupan beragama sehari-hari.
Pada dasarnya pembentukan jam’iyah NU dan bahtsul masa’il merupakan akomodasi atas potensi dan peran ulama-ulama pesantren yang secara kultrural telah eksis sebelum abad ke-duapuluh. Dengan mendirikan NU, diharapkan peran-peran mereka akan dapat lebih efektif sekaligus menjadikan ulama-ulama untuk eksis dalam pergolakan zaman yang semakin pesat.  Namun pada perkembangannya, NU kemudian bersifat eksklusif dalam berpendapat (dalam memutusakan permasalahan hukum Islam) dengan hanya mengundang ulama-ulama dari pesantren-pesantren yang ber “bau” NU saja dan menafikan ormas lain seperti Muhammadiyah, dll. Padahal perlu diketahui bahwa pesantren telah lama menjadi lembaga pendidikan yang memberikan bekal hidup bermasyarakat, baik dari NU, Muhammadiyah, Serikat Islam, dll. Namun secara sosial politik tidak banyak diperhitungkan, oleh sesama umat Islam Indonesia itu sendiri.
3.    Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai ormas Islam tertua di Indonesia yang mengusung isu tajdid, memilki satu lembaga fatwa yang bertugas untuk berijtihad secara kolektif  yang bernama Majelis Tarjih. Tugas mereka yang pertama adalah, menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya. Kedua, menyusun tuntunan ‘aqidah, akhlak, ibadah dan mu’amalah dunyawiyyah. Ketiga, memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu. Keempat, menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. Kelima, mempertinggi mutu ulama. keenam, hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.  Dan untuk mempermudah proses berijtihad di dalam tubuh Muhammadiyah ini, maka diputuskanlah kriteria orang yang dapat ikut berijtihad di dalamnya, karena kualitas manusia yang berijtihad tetap harus dituntut di dalam Lajnah Tarjih. Di dalam Qaidah Lajnah Tarjih-nya Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa peserta musyawarah tarjih adalah, “ulama (laki-laki atau perempuan) anggota persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih” . Dalam hal ini Fathurrahman berkesimpulan bahwa yang disebut dengan “ulama” di sini adalah orang yang ahli dalam agama, sedangkan “yang mempunyai kemampuan bertarjih” adalah orang yang mampu melakukan kegiatan di bidang istinbath hukum atau lebih tegas lagi berijtihad,  namun spesifikasi khusus peserta tarjih yang terjadi saat ini adalah hanya warga Muhammadiyah. Padahal di dalam Qaidah Lajnah Tarjih Pasal 6 ayat (3) point b menyebutkan adanya peserta lain dari ormas Islam lainnya seperti NU, al-Irsyad dan Peris. Hal ini pernah terjadi pada acara Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Malang tahun 1989.
Adapun di dalam berijtihad, Muhammadiyah berpendapat bahwa, yang pertama, sumber utama hukum dalam Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah. Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak berhubungan dengan ibadah mahdhah  dan tidak terdapat nash sharih dalam al-Qur’an dan al-Hadits, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat.  Kedua, dalam menggunakan hadits, Muhammadiyah lebih menekankan pada kritik sanad. Bahkan dalam menerima hadits dha’if sebagai hujjah pun, tolak ukur yang digunakan adalah, hadits itu harus diriwayatkan dengan sanad yang banyak.  Ketiga, ijma’ yang diterima hanyalah yang terjadi pada masa sahabat Nabi.  Pola seperti ini pada dasarnya hasil adopsi dari madzhab Hanbali. Di mana menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Imam Ahmad dan Syafi’i mengatakan bahwa barangsiapa yang meng¬akui ijma’ sebagai dasar hukum, ia telah berdusta, sebab mung¬kin masih ada seorang mujtahid yang tidak setuju.”  Karena itu, sangat sulit untuk mengetahui terwujudnya ijma’ sebagai dasar hukum. Apabila ada orang yang bertanya, apakah ijma’ itu bisa terjadi? Menurut Imam Ahmad, jawabannya yang paling tepat adalah, “La na’lam al-nash ikhtalafu.” Karenanya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagai penganut mazhab Hanbali, menyatakan tidak menerima ijma’ kecuali ijma’ yang dilakukan para sahabat. Keempat, qiyas yang diterima oleh Muhammadiyah dengan catatan tidak mengenai masalah ibadah mahdhah.  Kelima, dalam point kesembilan manhaj tersebut dinyatakan bahwa, men-ta’lil (dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum) dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits.  Jika diperhatikan secara seksama maka pola seperti sama erat kaitannya dengan metode istihsan yang diterapkan oleh Imam Abu Hanifah. Keenam, menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan mu’amalah, peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu.  Pola ini dalam ushul fiqh disebut dengan mashlahat al-mursalah, sebuah teori yang diterapkan oleh Imam Malik. Di mana menurut Ramadan al-Buti, kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemas¬lahatan akhirat.  Ketujuh, metode lain yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah sadd al-dzari’ah, sebagai alat untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
Kemudian lebih lanjut disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yang pertama, al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadits. Kedua, al-Ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadits. Ketiga, al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapara kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang di dasarkan atas kemaslahatahan.  Dengan demikian maka dapat difahami bahwa Muhammadiyah dalam hal ini juga terlihat sekali ego ke-aku-annya yang kemudian terasa jika Muhammadiyah itu telah menutup diri dari yang lain dan hanya menerima sekelompok orang dalam komuniti ijtihad mereka dengan pengkhususan mengundang utusan ormas-ormas Islam di Indonesia untuk ikut hadir.
Gambar 2
Jalan Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah
القرآن
مصدر            الحديث
الإجتهاد                    الإجماع
طرق            القياس                                        الإستحسان
مصلحة المرسلة
سد الذريعة
الأحكام الإسلامية
4.    Kementerian Agama Sebagai Rumah Ijtihad Kolektif Menuju Fiqh Indonesia yang Efektif.
Ketika melihat sub judul ini, maka yang muncul dibenak pembaca adalah, “bagaimana cara untuk menggabungkan semua lembaga fatwa yang ada”. Mungkin di satu sisi ada benarnya, namun sesungguhnya maksud penulis lebih luas dari ungkapan di atas. Karena tidak mungkin bagi kita untuk menyatukan lembaga-lembaga fatwa, yang sejak kelahirannya, sudah menunjukkan perbedaan. Akan tetapi paling tidak, kita mencoba untuk menyatukan persepsi tentang hukum Islam antara yang berorientasi formal dan yang berorientasi kultural dalam satu buah musyawarah besar umat Islam Indonesia.
Untuk itu, hal penting yang harus segera dilakukan oleh para pemikir hukum Islam, cendikiawan muslim beserta para ulama dan umara’ adalah, duduk bersama dan memfokuskan pembicaraan dalam satu bingkai kebangsaan dengan mengedepankan nilai-nilai tasamuh di dalam menyelamatkan harga diri fatwa yang saat ini mulai diremehkan, bahkan oleh umat Islam itu sendiri. Karena ijtihad jama’i bila didukung dengan fasilitas kenegaraan, tanpa mengurangi kebebasan para mujtahid akan lebih berhasil. Harun Nasution menjelaskan, ijtihad individual tidak dapat berlaku lagi, bahkan ijtihad kelompok ulama agama pun tidak akan bisa menyelesaikan dengan baik masalah zaman ini dan zaman-zaman selanjutnya.
Oleh karenanya dalam hal ini, penulis mencoba untuk menjelaskan tentang pentingnya revitalisasi Kementerian Agama sebagai rumah umat Islam Indonesia untuk berijtihad kolektif sehingga melahirkan produk-produk fiqh Indonesia yang tidak kebarat-baratan maupun ketimur-timuran (  لا شرقية ولا غربية  ).  Dan inilah yang mungkin dicita-citakan oleh para pendahulu kita dalam mendirikan dan membesarkan Departemen Agama. Dengan demikian, pemerintah melalui Kementerian Agama saat ini harus membenahi tubuhnya untuk mengakomodir semua pihak dalam berijtihad, sehingga hasilnya dapat menjadi salah satu hukum di Indonesia, minimal seperti bentuk jurisprudensi (putusan pengadilan) yang juga mengikat masyarakat. Sehingga bagi umat Islam Indonesia tidak akan mudah begitu saja menghina produk ijtihad.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka merupakan tugas Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam  beserta Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam  dalam menjalankan amanah ini. Tugas ini menjadi sangat urgen bagi mereka karena semua unsur penggerak kemashlahatan umat Islam di Indonesia berada di dalamnya. Selanjutnya, Kementerian Agama harus bekerja sama dengan instansi-instansi lain yang terkait dengan pembahasan ijtihad, seperti Mahkamah Agung dalam hal aturan hukum di Indonesia, dll.
Adapun untuk mendapatkan hasil yang maksimal, proses ijtihad kolektif harus transparan sehingga dapat dilihat oleh seluruh masyarakat Indonesia, baik yang hadir langsung ke tempat berlangsungnya ijtihad jama’i, ataupun secara online di internet. Untuk itu, umat Islam juga harus care dan serius dalam mengikuti jalannya ijtihad, karena apapun hasilnya, umat Islam Indonesia yang tidak sependapat, pada akhirnya harus “legowo” untuk menjalankan hasil keputusan tersebut.  Secara teknis pola di atas tergambar di dalam bagan berikut di bawah ini.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka muncul pertanyaan besar di benak para pembaca, untuk apa sulit-sulit kita menghabiskan dana yang begitu besar hanya untuk kegiatan di atas? Dalam hal ini, perlu penulis jelaskan bahwa sesungguhnya musyawarah besar umat Islam se-Indonesia penting untuk diwujudkan. Dan secara teknis hal di atas tidak akan menghabiskan dana yang banyak apalagi harus menguras dana negara yang seharusnya dapat didistribusikan kepada yang lebih berhak. Hal ini jika kita mau kembali kepada profil umat Islam yang tidak borjuis dan gelamor. Umat Islam yang menjadikan rumah Allah (masjid) sebagai tempatnya berteduh, bukannya kantor apalagi hotel. Umat Islam yang terbiasa puasa bukannya rakus dan gila harta. Karena jika uang yang menjadi pertanyaan pertama dalam permasalahan ini, maka tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan selanjutnya adalah, penyelewengan dana kegiatan tersebut sehingga harus berurusan dengan KPK.
Dengan demikian, maka menjadi tugas besar bagi Menteri Agama untuk menjalankan amanah besar di atas. Dan umat Islam Indonesia tentunya akan mentaatinya. Hal ini dapat terjadi karena memang umat Islam Indonesia sangat memegang teguh prinsip ketaatan baik kepada Allah, Rasul-Nya dan juga ulil amri, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {النساء : 59}
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Hal di atas juga sejalan dengan firman Allah dalam ayat sebekumnya, yakni :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا {النساء : 58}
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kedua ayat di atas memberikan penjelasan bahwa menyelesaikan permasalahan umat merupakan amanah besar, sehingga Allah harus memerintahkan kita agar dapat berlaku adil. Oleh karena berlaku adil itu merupakan sesutu yang sulit, maka pada ayat selanjutnya Allah memberikan penjelasan agar taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulil amri, jika meraih keadilan tersebut. Karena keputusan pemerintah dapat menghilangkan perbedaan :
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Artinya : “Keputusan pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat.”
Hilang atau tereleminasinya perbedaan pendapat (khilaf yang kemudian membawa kepada kemudharatan) ini dikarenakan standar mashlahat (yang dipandu oleh syara’ dan akal) umat yang dikedepankan, bukannya ego masing-masing kelompok dan golongan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dituangkan oleh kaidah fiqh lainnya :
تصرف الإمام على رعية منوط بالمصاحة
Artinya : “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada mashlahat.”
Adapun metode ijtihad yang tepat di dalam ijtihad kolektif di atas, penulis lebih condong untuk memberikan kebebasan bagi pesertanya untuk menggunakan metode yang dimiliki masing-masing. Karena hasilnya bukanlah lagi menggunakan ijtihad individual akan tetapi secara kolektiaf. Namun yang harus ditegaskan di sini adalah, bahwa sebenarnya di dunia ini tidak perlu ada hukum yang dapat mengekang kebebasan manusia jika manusia itu sendiri menjalankan etika (akhlaq) sosial yang sangat menghormati hidup seseorang. Hukumnya hanya akan ada, ketika ada orang yang melanggar etika sosial tersebut. Dan etika itu berada di dalam hati setiap orang yang paling dalam tanpa harus dibentur dengan akal. Akal hanya digunakan ketika kejernihan hati yang paling dalam dilanggar. Artinya, hukum itu adalah hasil sebuah pemikiran (rasionalitas atau al-ra’yu) yang dapat digugat oleh kejernihan hati.
Untuk itu, jika hati kita yang berbicara, maka sesungguhnya teori kemaslahat yang diambil dari maksud dan tujuan مقاصد الشريعة (maqashid al-syari’ah) yang menuntut untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta,  akan menghasilkan dua teori negatif dan positif, atau dalam bahasa ushul fiqh-nya جلب المصالح ودرؤ المفاسد (jalbu al-mashalih wa dar`u al-mafasid yakni menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan). Dan sudut pandang yang harus didudukkan adalah, maqashid al-Syari’ (tujuan Allah) dan maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf).  Konsep ini akan memecahkan apa yang dibicarakan Tuhan, bagaimana Tuhan bicara dengan makhluk-Nya, dan untuk apa Tuhan bicara demikian. Bukan saja hanya mengambil apa yang dibicaran tuhan kepada hamba-Nya dan menafikan dua pertanyaan yang lain. Oleh karena itu, sebagai manusia yang memiliki hati dan akal, maka tak pantas rasanya jika kita menonjolkan ego kelembagaan, dan menafikan yang lainnya. Kita adalah cipataan Allah yang sempurna dan Allah tidak pernah melihat apa pakaian kita, akantetapi takwa itulah yang Allah lihat, dan takwa bermuara di dalam hati, dicerna oleh akal dan menghasilkan kesalihan sosial. Dengan demikian, karena takwa tidak ada sama sekali alat ukurnya, alias bersifat relatif, maka dalam menempuh hukum Islam yang objektif adalah dengan menunjukkan keilmuan yang merupakan pencernaan dari akal dan produk kesalihan. Namun, bersifat kolektif dalam mengaplikasikannya. Kolektifitas yang dimaksud adalah menyangkut kehadiran individu-individu dan kelembagaan, serta diramu dalam bentuk syura (demokratis).
Inilah kolektifitas yang wajib ada di dalam ruang ijtihad. Dan sekali lagi harus penulis tekankan di dalam tulisan ini, bahwa kemaslahatan yang menggabungkan antara hati dan akal, serta setia untuk mengkontekskan teks-teks hukum dengan keadaan baru maka akan melahirkan kemaslahatan yang sempurna untuk masa dikeluarkannya hasil ijtihad, dan belum tentu untuk masa yang akan datang. Karena dengan pola seperti ini, benturan antara dalil akan mudah diminimalisir. Apalagi permasalahan saat ini lebih kompleks dibandingkan dengan masa lalu. Oleh karenanya, kompleksitas masalah dewasa ini, menuntut pula elastisitas dan fleksibilitas dalam memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Apalagi realita yang ada telah memberikan gambaran yang jelas yaitu :
إن النصوص تتناهى ولكن الحوادث لا تتناهى
Artinya : “Sesungguhnya nash-nash itu telah berakhir sedangkan peristiwa itu tidak pernah berakhir.”
Inilah hati, yang tidak akan pernah berdusta kapanpun waktunya, dalam keadaan apapun dan di manapun berada. Sedangkan akal bisa menciptakan suatu perubahan, dan mungkin juga menciptakan kebohongan sesuai dengan perubahan waktu, keadaan dan tempat. Maka wajar rasanya, jika ada kaidah yang menyebutkan, لاينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان (tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu),  hal ini terjadi karena memang perbedaan antara ulama saat itu selalu antara teks dan rasionalitas, tapi minim sekali membicarakan antara hati dan akal. Jika diperhatikan kaidah ini terkadang, sering dianggap membingungkan karena ada dua sisi yang berbeda. Pada sisi pertama, hukum dapat berubah karena perubahan perkembangan manusia, oleh karenanya hukum Islam bersifat dinamis (tidak anti perubahan). Pada sisi lain, hukum Islam menjadi jumud (statis)  karena kebanyakan ulama menyandarkan diri kepada aliran hukum tertentu sehingga mereka agak sulit menerima perubahan.  Untuk itu, hati harus menjadi filter atas pembusukan akal, dan paling tidak, tulisan Imam al-Ghazali yang berjudul Ihya` ‘Ulum al-Din dan al-Mustashfa yang kemudian dikembangkan oleh al-Syatibi dengan judul al-Muwafaqat, menjadi salah satu bukti, adanya titik temu antara hati dan akal dalam menghasilkan maksud-maksud hukum, sehingga dapat menerima perubahan yang penuh dengan kedamaian, karena semuanya, benar-benar untuk memberikan pencerahan kepada seluruh umat Islam atas elastisitas dan fleksibelitasnya hukum Islam, sekaligus untuk memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah kemafsadatan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana di dalam kaidah fiqh telah disebutkan adanya, درؤ المفاسد وجلب المصالح (Menolak kemafsadatan dan mendapat kemaslahatan)
Sejalan dengan kaidah di atas, adalah pendapat yang dikemuka¬kan oleh Ramadhan al-Buthi yang menyatakan, bahwa meraih kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemas¬lahatan akhirat.  Dengan demikian, maka seharusnya pertanyaan yang muncul bukanlah seperti yang ada di atas, akan tetapi, “sudah seberapa banyak dan sejauh manakah keilmuan umat Islam dibidang science?”. Dengan pertanyaan seperti ini, maka kita akan mendapatkan suatu jawaban pasti untuk menciptakan cooperation in science and of technology (kerjasama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan siapapun, termasuk dengan non-muslim. Dan perlu diingat bahwa, pengambil keputusan akhir ditangan pemimpin musyawarah bukan oleh individu-individu yang datang, peserta yang hadir hanya menyampaikan hasil pemikiran mereka yang ditemukan melalui jalan penelitian secara akademik, atau di dalam bahasa ushul fiqh-nya disebut dengan teori istiqra’.
Contoh kongkritnya adalah, seperti apa yang telah dilakukan oleh Amir al-Mu’minin Umar bin al-Khathab ra. terhadap pencuri, di mana ia ini tidak memotong tangan pencuri tersebut karena kontksnya saat itu adalah pada masa terjadinya kelaparan (‘am as-sannah/al-maja’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Qur’an (Qs. al-Ma’idah [5]: 38). Menurut Ma’ruf ad-Duwalibi, peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan hukum pencurian yang telah ditetapkan al-Qur’an, disebabkan oleh perubahan kondisi yang menyebabkan timbulnya pencurian.  Akan tetapi menurut hemat penulis, bukan saja perubahan keadaan yang menjadi landasan perubahan hukum, akan tetapi, hati sang khalifah telah melihat keadaan masyarakat secara mendalam, di mana keadaan telah memaksa warga untuk melakukan pencurian.
Begitu juga dengan kasus-kasus hukum lainnya yang diputuskan oleh Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu seperti kegerahan Umar terhadap prilaku individual umat Islam dalam beribadah di malam bulan Ramadhan yang kemudian olehnya disatukan dalam satu shalat sunah berjama’ah dengan niat shalat tarawih dan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Contoh ini juga menunjukkan di mana hati dan akal telah bersatu padu sehingga memunculkan ke’arifan yang mendalam dan memutuskan suatu kebijakan dengan sangat bijak. Tidak ada tendensi apapun di dalamnya. Semuanya murni dari hati yang paling dalam (ikhlash mengharapkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala), karena apa yang disampaikan oleh isi hati yang paling dalam akan mudah diterima oleh hati yang paling dalam juga.
ولا شك أنَّ الوعظ مِن المخلصين وأهل القلوب ، أشد تأثيراً من غيرهم ،فإنَّ الكلامَ إذا خرج من القلب وقع في القلب
Artinya : “tidak dapat diragukan lagi bahwa keteladanan dari orang-orang yang ikhlash dan bijak, lebih mudah diresapi oleh orang lain, maka sesungguhnya ungkapan itu jika lahir dari hati maka akan tertanam di dalam hati orang yang mendengar ungkapan tersebut.”

C.    Kesimpulan.
Berdasarkan seluruh ungkapan penulis di atas, maka, agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa revitalisasi tugas Kementerian Agama sebagai rumah umat Islam untuk berijtihad secara kolektif merupakan amanah umat yang begitu besar untuk dapat menciptakan fiqh Indonesia yang lebih efektif. Adapun pendekatan yang digunakan di dalam ijtihad kolektif, mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi, yakni dengan menggunakan teks, akal, dan hati yang paling dalam.

KHIYAR

Secara bahasa khiyar berarti memilih mana yang lebih baik dari dua hal atau lebih. Sementara secara terminologis menurut para pakar adalah ...