Senin, 15 April 2013

IJTIHAD

A.    Pendahuluan.
Dalam kajian ushul fiqh dikenal istilah al-ijtihad yang berasal dari kata ijtahada yang berarti جدّ و بذل وسعها , yakni bersungguh-sungguh dan mencurahkan segala kemampuannya, maka ijtihad secara etimologi adalah, kesungguhan, kegiatan dan ketekunan.  Sedangkan secara terminologi adalah, “mencurahkan semua kemampuan untuk mencari (jawaban) hukum yang bersifat zhanni, hingga merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.”
Adapun Wahbah Zuhaili, menyimpulkan dengan singkat tentang makna ijtihad dari pengertian-pengertian yang ia dapatkan, yakni :
وأنسب تعر يف في رأينا من التعار يف المنقولة هو ما ذكره القاضي البيضاوي وهو استفراغ الجهد في إدراك الأحكام الشرعية
Artinya : “Dan defenisi yang paling sesuai menurut pendapat kami dari defenisi-defenisi yang disadur adalah, apa yang telah disampaikan oleh Qadi al-Baidhawi, bahwa (Ijtihad) adalah mengarahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum-hukum syara’.”
Membahas tentang metode Ijtihad berarti harus mengkaji lebih mendalam tentang ushul al-fiqh  yang dipakai sebagai sarana untuk mendalami keilmuan seorang mujtahid sekaligus sebagai salah satu sayarat untuk menjadi seorang mujtahid. Adapun dalam pengaplikasian-nya, ijtihad terbagi menjadi dua gerak, yang pertama, ijtihad fardhi (individual), yakni suatu ijtahad yang dilakukan oleh orang seorang atau beberapa orang, tidak ada keterangan bahwa seluruh mujtahid yang lain menyetujuinya. Jenis ijtihad ini mungkin dilakukan jika masalah atau kasus yang menjadi objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sederhana, sehingga tidak memerlukan penelitian atau kajian dari berbagai disiplin ilmu. Kedua, ijtihad jama’i (kolektif) : Suatu ijtihad yang dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif (bersama) dan disepakati oleh semua mujtahid. Ijtihad dalam benntuk ini terjadi karena masalah yang diselesaikan sangat kompleks (rumit) meliputi bidang yang luas, sehingga perlu melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh seorang spesialis pada satu bidang tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang paling populer diterapkan di Indonesia adalah pola ijtihad jama’i, hal ini dikarenakan tidak adanya penyebutan dan otoritas mufti yang luas dan diangkat oleh negara dalam menjawab permasalahan-permasalahan hukum Islam di Indonesia, oleh karenanya muncullah lembaga-lembaga Islam non government seperti MUI, NU dan Muhammadiyah yang seolah-olah memiliki otoritas mutlak dan tertinggi dalam menetapkan permasalahan hukum Islam di Indonesia, sehingga memunculkan jawaban yang akan berbeda antara satu sama lainnya. Seperti “Rokok” misalnya, di mana MUI mengharamkannya bagi anak-anak, remaja, wanita hamil, dan di tempat umum juga haram.  Muhammadiyah mengharamkannya secara mutlak.  Sedangkan NU mengklasifikasikan hukumnya pada tiga hal ; (1) hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudharat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan, (2) hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudharat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram, (3) hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudharat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.
Dengan melihat ketiga organisasi masyarakat Islam di atas yang sama-sama sangat menonjolkan ego ke“aku”annya, menunjukkan adanya ketidak sehatan dalam beragama di Indonesia,  padahal sejak pasca kemerdekaan, begitu banyak para pemikir Islam (ulama’) Indonesia yang memberikan solusi pemersatuan pola pikir umat Islam Indonesia dengan mencanangkan adanya fiqh Indonesia  yang tentunya beserta metodenya. Bahkan Menteri Agama Indonesia pertama, yakni KH. Wahid Hasyim dengan pemikiran yang begitu brilliant mendirikan Departemen Agama (saat ini berubah nama menjadi Kementerian Agama) sebagai rumah bersatunya umat Islam, bahkan juga untuk tempat komunikasi semua agama. Akan tetapi yang terjadi sampai saat ini adalah, Kementerian Agama belum memiliki moment untuk menjadikan dirinya sebagai rumah ijtihad kolektif, sehingga memunculkan fiqh Indonesia yang produknya tidak akan diremehkan oleh umatnya sendiri. Oleh karenanya, melalui permasalahan inilah penulis akan mencoba untuk mencairkannya dalam tulisan yang singkat ini dengan mencoba merumuskan Kementerian Agama sebagai rumah ijtihad kolektif beserta metodenya. Berikut penjelasannya.

B.    Pembahasan.
Sebelum menjelaskan tentang Kementerian agama sebagai rumah ijtihad kolektif di Indonesia beserta metodenya (sebagai sebuah alternatif), berikut penulis paparkan beberapa metode ijtihad yang ada di Indonesia.
1.    Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Tim Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang disebut dengan Universitas Islam Negeri Jakarta) dalam Ensiklopedi Islam Indonesia menyebutkan, bahwa pembentukan MUI ini telah membuka sejarah baru dalam usaha mewujudkan kesatuan umat Islam Indonesia dalam satu forum tingkat nasional yang dapat menampung, menghimpun dan mempersatu-kan pendapat dan pikiran ulama atau umat Islam secara keseluruhan.  Dan hasilnya, MUI tumbuh berkembang dengan pesat di bumi nusantara ini,  hal ini dikarenakan tujuan dari adanya MUI adalah untuk ikut serta berperan aktif dalam mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur, yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan GBHN.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, maka MUI sebagai salah satu ormas Islam di Indonesia yang kepengurusanya terdiri dari ulama, umara’ dan zu’ama’,  sangat berkepentingan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan umat Islam Indonesia termasuk permasalahan kenegaran yang berhubungan dengan Islam berupa putusan fatwa. Dan kecenderungan untuk menjadi oportunis sangat terbuka lebar, karena melekatnya ulama dengan umara’. Adapun prosedur yang dilakukan oleh MUI yang pertama adalah, masalah diajukan (dihadapi) MUI untuk dibahas dalam rapat komisi untuk mengetahui substansi dan duduk masalahnya. Kedua, dalam rapat komisi dihadirkan ahli yang bekaitan dengan masalah yang akan difatwakan untuk didengarkan pendapatnya untuk dipertimbangkan. Ketiga, setelah pendapat ahli didengar dan dipertimbangkan, ulama melakukan kajian terhadap pendapat para imam madzhab dan fuqaha’ dengan memperhatikan dalil-dalil yang digunakan dengan berbagai istidlal-nya dan kemashlahatannya bagi umat. Apabila pendapat para ulama seragam atau hanya satu ulama yang memiliki pendapat, komisi dapat menjadikan pendapat tersebut sebagai fatwa. Keempat, jika fuqaha’ memiliki ragam pendapat, komisi melakukan pemilihan pendapat melalui tarjih dan memilih salah satu pendapat untuk difatwakan. Kelima, jika tarjih tidak menghasilkan produk yang diharapkan, komisi dapat melakukan dengan ( إلحاق المسائل بنظائرها ) dengan memperhatikan mulhaq bih, mulhaq ‘alaih dan wajh al-ilhaq (pasal 5). Keenam, apabila cara ilhaq tidak menghasilkan produk yang memuaskan, komisi dapat melakukan ijtihad jama’i dengan menggunakan al-qawa’id al-ushuliyah dan al-qawa’id al-fiqhiyah.
Prosedur di atas menunjukkan bahwa metode istinbath hukum MUI adalah dengan standar al-Qur’an, al-sunnah, dan ijtihad jama’i (kolektif) yang melibatkan para ulama dari berbagai disiplin ilmu, bahkan juga para pakar/ahli sesuai bidang masalah yang dibahas. Metode penetapan fatwa dilakukan Komisi Fatwa MUI melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan nash qath’i, pendekatan qauli dan pendekatan manhaji. Namun, jika diteliti secara seksama, dari apa yang ditentukan oleh MUI di atas maka akan didapatkan bahwa seluruh kegiatan fatwa mereka hampir dipengaruhi oleh cara berpikir istinbath para aimmah al-madzahib (Imam madzhab empat yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) dan terkadang lebih condong kepada pemikiran madzhab Syafi’i yang dikembangkan oleh NU di Indonesia, sebagai contoh adalah prosedur ilhaq dan penggunaan al-qawa’id al-ushuliyah dan al-qawa’id al-fiqhiyah. Hal ini dapat terjadi dikarenakan masuknya madzhab Syafi’i kedalam masyarakat Indonesia lebih banyak mempengaruhi pemikiran ulama’ yang dikembangkan di pesantren-pesantren dibandingkan madzhab lain. Telaah yang penting untuk diperhatikan adalah, bahwa MUI dilihat dari sturktur kepengurusannya sangat eksklusif, karena hanya tergolong orang-orang yang berada di bawah naungan MUI saja.
2.    Nahdhatul Ulama (NU).
Pola ijtihad yang dilakukan oleh NU adalah pola bermadzhab, baik bermadzhab secara qauli  maupun manhaji . Akan tetapi sebenarnya, mayoritas ulama NU hanya memegang dan mempelajari manhaj imam Syafi’i. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti Waraqat, Hujjah al-Wushul, Lam’u al-Jawami’, al-Mushtasyfa, al-Asybah wan al-Nazha’ir dan lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di beberapa pesantren. Namun, akibat perkembangan dan rumitnya persoalan-persoalan hukum baru yang dipertanyakan komunitas warga NU telah memotivasi para kyai muda NU untuk bukan hanya “terhipnotis” mencari ‘ibarah dalam literatur-literatur klasik yang diakui keabsahannya, tetapi lebih dari itu, mereka mulai “berani” mengkritisi karya-karya ulama terdahulu (kitab-kitab kuning). Atas dukungan KH. Sahal Mahfudh dan KH. Imron Hamzah, para kyai muda mengadakan mudzakarah dengan tema “Telaah Kitab Secara Kontekstual” di Pondok Pesantren Watu Congol-Muntilan-Magelang Jawa Tengah (15-17 Desember 1988). Muzakarah (seminar) ini menghasilkan pokok-pokok pikiran sebagai berikut; pertama, memahami teks kitab harus dibarengi dengan konteks sosial historisnya; kedua, mengembangkan kemampuan observasi dan analisis terhadap teks kitab; ketiga, memperbanyak muqabalah (perbandingan) dengan kitab-kitab lain; keempat, meningkatkan intensitas diskusi intelektual antara pakar disiplin ilmu terkait dengan materi yang tercantum dalam kitab klasik; dan kelima, menghadapkan kajian teks kitab klasik dengan wacana aktual dan bahasa yang komunikatif.
Upaya pemikiran dinamis dalam merumuskan metode Bahtsul Masa’il di atas terus berlangsung hingga dibahas dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Islamic Centre Raja Basa Bandar Lampung (21-25 Januari 1992/ 16-20 Rajab 1412).  Namun kemudian, redaksi prosedur penjawaban yang dihasilkan pada tahun 1992, direvisi dan dilengkapi dalam Muktamar XXXI Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Donohudan Boyolali-Solo Jawa Tengah, dengan urutan sebagai berikut :
a.    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dari kutubul madzahib al-arba’ah dan di sana hanya terdapat satu pendapat dari kutubul madzhab al-arba’ah, maka dipakailah pendapat tersebut.
b.    Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ‘ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu pendapat maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan sebagai berikut ;
1)    Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan atau yang lebih kuat.
2)    Khusus dalam madzhab Syafi’i sesuai dengan keputusan Muktamar  ke I (1926), perbedaan pendapat disesuaikan dengan cara memilih ;
a)    Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi’i).
b)    Pendapat yang dipegangi oleh al-Nawawi.
c)    Pendapat yang dipegangi oleh al-Rafi’i.
d)    Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama.
e)    Pendapat ulama yang terpandai.
f)    Pendapat ulama yang paling wara’.
c.    Dalam kasus tidak ada pendapat yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan prosedur Ilhaqul Masail bi nazhairiha secara jama’i oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan memperhatikan mulhaq, mulhaq bihi dan wajhul Ilhaq oleh para mulhiq yang ahli.
d.    Dalam kasus tidak mungkin dilakukan Ilhaq, maka bisa dilakukan istinbath  jama’i dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya, yaitu dengan mempraktekkan qawa’id ushuliyyah oleh para ahlinya.
Gambar 1
Cara Ijtihad Lembaga Bahtsul Masa`il Nahdhatul Ulama
تقر ير الجماعي
الإجتهاد    أخذ عبارة الكتاب                 الحاق المسائل بنظائرها
استنباط الجماعي
الأحكام الإسلامية
Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa bagi NU, “bahtsul masa’il tidak saja dimanfaatkan sebagai forum yang sarat dengan muatan kitab-kitab klasik, tetapi juga merupakan lembaga di bawah NU yang menjadi sarana penting yang berkaitan langsung dengan kebutuhan hukum agama bagi kaum Nahdliyin” . Karena dengan sarana bahtsul masa’il, maka fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan atau dihasilkan akan tersosialisasikan ke daerah-daerah sampai kepelosok tanah air. Bahkan bagi masyarakat NU yang awam, keputusan bahtsul masa’il ini dianggap sebagai rujukan dalam praktik kehidupan beragama sehari-hari.
Pada dasarnya pembentukan jam’iyah NU dan bahtsul masa’il merupakan akomodasi atas potensi dan peran ulama-ulama pesantren yang secara kultrural telah eksis sebelum abad ke-duapuluh. Dengan mendirikan NU, diharapkan peran-peran mereka akan dapat lebih efektif sekaligus menjadikan ulama-ulama untuk eksis dalam pergolakan zaman yang semakin pesat.  Namun pada perkembangannya, NU kemudian bersifat eksklusif dalam berpendapat (dalam memutusakan permasalahan hukum Islam) dengan hanya mengundang ulama-ulama dari pesantren-pesantren yang ber “bau” NU saja dan menafikan ormas lain seperti Muhammadiyah, dll. Padahal perlu diketahui bahwa pesantren telah lama menjadi lembaga pendidikan yang memberikan bekal hidup bermasyarakat, baik dari NU, Muhammadiyah, Serikat Islam, dll. Namun secara sosial politik tidak banyak diperhitungkan, oleh sesama umat Islam Indonesia itu sendiri.
3.    Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai ormas Islam tertua di Indonesia yang mengusung isu tajdid, memilki satu lembaga fatwa yang bertugas untuk berijtihad secara kolektif  yang bernama Majelis Tarjih. Tugas mereka yang pertama adalah, menyelidiki dan memahami ilmu agama Islam untuk memperoleh kemurniannya. Kedua, menyusun tuntunan ‘aqidah, akhlak, ibadah dan mu’amalah dunyawiyyah. Ketiga, memberi fatwa dan nasihat, baik atas permintaan maupun Tarjih sendiri memandang perlu. Keempat, menyalurkan perbedaan pendapat atau faham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. Kelima, mempertinggi mutu ulama. keenam, hal-hal lain dalam bidang keagamaan yang diserahkan oleh Pimpinan Persyarikatan.  Dan untuk mempermudah proses berijtihad di dalam tubuh Muhammadiyah ini, maka diputuskanlah kriteria orang yang dapat ikut berijtihad di dalamnya, karena kualitas manusia yang berijtihad tetap harus dituntut di dalam Lajnah Tarjih. Di dalam Qaidah Lajnah Tarjih-nya Pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa peserta musyawarah tarjih adalah, “ulama (laki-laki atau perempuan) anggota persyarikatan yang mempunyai kemampuan bertarjih” . Dalam hal ini Fathurrahman berkesimpulan bahwa yang disebut dengan “ulama” di sini adalah orang yang ahli dalam agama, sedangkan “yang mempunyai kemampuan bertarjih” adalah orang yang mampu melakukan kegiatan di bidang istinbath hukum atau lebih tegas lagi berijtihad,  namun spesifikasi khusus peserta tarjih yang terjadi saat ini adalah hanya warga Muhammadiyah. Padahal di dalam Qaidah Lajnah Tarjih Pasal 6 ayat (3) point b menyebutkan adanya peserta lain dari ormas Islam lainnya seperti NU, al-Irsyad dan Peris. Hal ini pernah terjadi pada acara Muktamar Tarjih Muhammadiyah di Malang tahun 1989.
Adapun di dalam berijtihad, Muhammadiyah berpendapat bahwa, yang pertama, sumber utama hukum dalam Islam adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah. Kemudian untuk menghadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak berhubungan dengan ibadah mahdhah  dan tidak terdapat nash sharih dalam al-Qur’an dan al-Hadits, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada melalui persamaan ‘illat.  Kedua, dalam menggunakan hadits, Muhammadiyah lebih menekankan pada kritik sanad. Bahkan dalam menerima hadits dha’if sebagai hujjah pun, tolak ukur yang digunakan adalah, hadits itu harus diriwayatkan dengan sanad yang banyak.  Ketiga, ijma’ yang diterima hanyalah yang terjadi pada masa sahabat Nabi.  Pola seperti ini pada dasarnya hasil adopsi dari madzhab Hanbali. Di mana menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, “Imam Ahmad dan Syafi’i mengatakan bahwa barangsiapa yang meng¬akui ijma’ sebagai dasar hukum, ia telah berdusta, sebab mung¬kin masih ada seorang mujtahid yang tidak setuju.”  Karena itu, sangat sulit untuk mengetahui terwujudnya ijma’ sebagai dasar hukum. Apabila ada orang yang bertanya, apakah ijma’ itu bisa terjadi? Menurut Imam Ahmad, jawabannya yang paling tepat adalah, “La na’lam al-nash ikhtalafu.” Karenanya, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sebagai penganut mazhab Hanbali, menyatakan tidak menerima ijma’ kecuali ijma’ yang dilakukan para sahabat. Keempat, qiyas yang diterima oleh Muhammadiyah dengan catatan tidak mengenai masalah ibadah mahdhah.  Kelima, dalam point kesembilan manhaj tersebut dinyatakan bahwa, men-ta’lil (dalam arti menggali hikmah dan tujuan hukum) dapat digunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits.  Jika diperhatikan secara seksama maka pola seperti sama erat kaitannya dengan metode istihsan yang diterapkan oleh Imam Abu Hanifah. Keenam, menurut Muhammadiyah, kemaslahatan umat merupakan sesuatu yang harus diwujudkan. Karena itu, dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan mu’amalah, peranan akal cukup besar, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan itu.  Pola ini dalam ushul fiqh disebut dengan mashlahat al-mursalah, sebuah teori yang diterapkan oleh Imam Malik. Di mana menurut Ramadan al-Buti, kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemas¬lahatan akhirat.  Ketujuh, metode lain yang digunakan oleh Muhammadiyah adalah sadd al-dzari’ah, sebagai alat untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
Kemudian lebih lanjut disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam berijtihad menempuh tiga jalur, yang pertama, al-Ijtihad al-Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Qur’an dan Hadits. Kedua, al-Ijtihad al-Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru, dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al-Qur’an dan Hadits. Ketiga, al-Ijtihad al-Istishlahi, yakni menyelesaikan beberapara kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber hukum di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang di dasarkan atas kemaslahatahan.  Dengan demikian maka dapat difahami bahwa Muhammadiyah dalam hal ini juga terlihat sekali ego ke-aku-annya yang kemudian terasa jika Muhammadiyah itu telah menutup diri dari yang lain dan hanya menerima sekelompok orang dalam komuniti ijtihad mereka dengan pengkhususan mengundang utusan ormas-ormas Islam di Indonesia untuk ikut hadir.
Gambar 2
Jalan Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah
القرآن
مصدر            الحديث
الإجتهاد                    الإجماع
طرق            القياس                                        الإستحسان
مصلحة المرسلة
سد الذريعة
الأحكام الإسلامية
4.    Kementerian Agama Sebagai Rumah Ijtihad Kolektif Menuju Fiqh Indonesia yang Efektif.
Ketika melihat sub judul ini, maka yang muncul dibenak pembaca adalah, “bagaimana cara untuk menggabungkan semua lembaga fatwa yang ada”. Mungkin di satu sisi ada benarnya, namun sesungguhnya maksud penulis lebih luas dari ungkapan di atas. Karena tidak mungkin bagi kita untuk menyatukan lembaga-lembaga fatwa, yang sejak kelahirannya, sudah menunjukkan perbedaan. Akan tetapi paling tidak, kita mencoba untuk menyatukan persepsi tentang hukum Islam antara yang berorientasi formal dan yang berorientasi kultural dalam satu buah musyawarah besar umat Islam Indonesia.
Untuk itu, hal penting yang harus segera dilakukan oleh para pemikir hukum Islam, cendikiawan muslim beserta para ulama dan umara’ adalah, duduk bersama dan memfokuskan pembicaraan dalam satu bingkai kebangsaan dengan mengedepankan nilai-nilai tasamuh di dalam menyelamatkan harga diri fatwa yang saat ini mulai diremehkan, bahkan oleh umat Islam itu sendiri. Karena ijtihad jama’i bila didukung dengan fasilitas kenegaraan, tanpa mengurangi kebebasan para mujtahid akan lebih berhasil. Harun Nasution menjelaskan, ijtihad individual tidak dapat berlaku lagi, bahkan ijtihad kelompok ulama agama pun tidak akan bisa menyelesaikan dengan baik masalah zaman ini dan zaman-zaman selanjutnya.
Oleh karenanya dalam hal ini, penulis mencoba untuk menjelaskan tentang pentingnya revitalisasi Kementerian Agama sebagai rumah umat Islam Indonesia untuk berijtihad kolektif sehingga melahirkan produk-produk fiqh Indonesia yang tidak kebarat-baratan maupun ketimur-timuran (  لا شرقية ولا غربية  ).  Dan inilah yang mungkin dicita-citakan oleh para pendahulu kita dalam mendirikan dan membesarkan Departemen Agama. Dengan demikian, pemerintah melalui Kementerian Agama saat ini harus membenahi tubuhnya untuk mengakomodir semua pihak dalam berijtihad, sehingga hasilnya dapat menjadi salah satu hukum di Indonesia, minimal seperti bentuk jurisprudensi (putusan pengadilan) yang juga mengikat masyarakat. Sehingga bagi umat Islam Indonesia tidak akan mudah begitu saja menghina produk ijtihad.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka merupakan tugas Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam  beserta Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam  dalam menjalankan amanah ini. Tugas ini menjadi sangat urgen bagi mereka karena semua unsur penggerak kemashlahatan umat Islam di Indonesia berada di dalamnya. Selanjutnya, Kementerian Agama harus bekerja sama dengan instansi-instansi lain yang terkait dengan pembahasan ijtihad, seperti Mahkamah Agung dalam hal aturan hukum di Indonesia, dll.
Adapun untuk mendapatkan hasil yang maksimal, proses ijtihad kolektif harus transparan sehingga dapat dilihat oleh seluruh masyarakat Indonesia, baik yang hadir langsung ke tempat berlangsungnya ijtihad jama’i, ataupun secara online di internet. Untuk itu, umat Islam juga harus care dan serius dalam mengikuti jalannya ijtihad, karena apapun hasilnya, umat Islam Indonesia yang tidak sependapat, pada akhirnya harus “legowo” untuk menjalankan hasil keputusan tersebut.  Secara teknis pola di atas tergambar di dalam bagan berikut di bawah ini.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka muncul pertanyaan besar di benak para pembaca, untuk apa sulit-sulit kita menghabiskan dana yang begitu besar hanya untuk kegiatan di atas? Dalam hal ini, perlu penulis jelaskan bahwa sesungguhnya musyawarah besar umat Islam se-Indonesia penting untuk diwujudkan. Dan secara teknis hal di atas tidak akan menghabiskan dana yang banyak apalagi harus menguras dana negara yang seharusnya dapat didistribusikan kepada yang lebih berhak. Hal ini jika kita mau kembali kepada profil umat Islam yang tidak borjuis dan gelamor. Umat Islam yang menjadikan rumah Allah (masjid) sebagai tempatnya berteduh, bukannya kantor apalagi hotel. Umat Islam yang terbiasa puasa bukannya rakus dan gila harta. Karena jika uang yang menjadi pertanyaan pertama dalam permasalahan ini, maka tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan selanjutnya adalah, penyelewengan dana kegiatan tersebut sehingga harus berurusan dengan KPK.
Dengan demikian, maka menjadi tugas besar bagi Menteri Agama untuk menjalankan amanah besar di atas. Dan umat Islam Indonesia tentunya akan mentaatinya. Hal ini dapat terjadi karena memang umat Islam Indonesia sangat memegang teguh prinsip ketaatan baik kepada Allah, Rasul-Nya dan juga ulil amri, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً {النساء : 59}
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Hal di atas juga sejalan dengan firman Allah dalam ayat sebekumnya, yakni :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا {النساء : 58}
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Kedua ayat di atas memberikan penjelasan bahwa menyelesaikan permasalahan umat merupakan amanah besar, sehingga Allah harus memerintahkan kita agar dapat berlaku adil. Oleh karena berlaku adil itu merupakan sesutu yang sulit, maka pada ayat selanjutnya Allah memberikan penjelasan agar taat kepada Allah, Rasul-Nya dan ulil amri, jika meraih keadilan tersebut. Karena keputusan pemerintah dapat menghilangkan perbedaan :
حكم الحاكم يرفع الخلاف
Artinya : “Keputusan pemerintah menghilangkan perbedaan pendapat.”
Hilang atau tereleminasinya perbedaan pendapat (khilaf yang kemudian membawa kepada kemudharatan) ini dikarenakan standar mashlahat (yang dipandu oleh syara’ dan akal) umat yang dikedepankan, bukannya ego masing-masing kelompok dan golongan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah dituangkan oleh kaidah fiqh lainnya :
تصرف الإمام على رعية منوط بالمصاحة
Artinya : “kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada mashlahat.”
Adapun metode ijtihad yang tepat di dalam ijtihad kolektif di atas, penulis lebih condong untuk memberikan kebebasan bagi pesertanya untuk menggunakan metode yang dimiliki masing-masing. Karena hasilnya bukanlah lagi menggunakan ijtihad individual akan tetapi secara kolektiaf. Namun yang harus ditegaskan di sini adalah, bahwa sebenarnya di dunia ini tidak perlu ada hukum yang dapat mengekang kebebasan manusia jika manusia itu sendiri menjalankan etika (akhlaq) sosial yang sangat menghormati hidup seseorang. Hukumnya hanya akan ada, ketika ada orang yang melanggar etika sosial tersebut. Dan etika itu berada di dalam hati setiap orang yang paling dalam tanpa harus dibentur dengan akal. Akal hanya digunakan ketika kejernihan hati yang paling dalam dilanggar. Artinya, hukum itu adalah hasil sebuah pemikiran (rasionalitas atau al-ra’yu) yang dapat digugat oleh kejernihan hati.
Untuk itu, jika hati kita yang berbicara, maka sesungguhnya teori kemaslahat yang diambil dari maksud dan tujuan مقاصد الشريعة (maqashid al-syari’ah) yang menuntut untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta,  akan menghasilkan dua teori negatif dan positif, atau dalam bahasa ushul fiqh-nya جلب المصالح ودرؤ المفاسد (jalbu al-mashalih wa dar`u al-mafasid yakni menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan). Dan sudut pandang yang harus didudukkan adalah, maqashid al-Syari’ (tujuan Allah) dan maqashid al-mukallaf (tujuan mukallaf).  Konsep ini akan memecahkan apa yang dibicarakan Tuhan, bagaimana Tuhan bicara dengan makhluk-Nya, dan untuk apa Tuhan bicara demikian. Bukan saja hanya mengambil apa yang dibicaran tuhan kepada hamba-Nya dan menafikan dua pertanyaan yang lain. Oleh karena itu, sebagai manusia yang memiliki hati dan akal, maka tak pantas rasanya jika kita menonjolkan ego kelembagaan, dan menafikan yang lainnya. Kita adalah cipataan Allah yang sempurna dan Allah tidak pernah melihat apa pakaian kita, akantetapi takwa itulah yang Allah lihat, dan takwa bermuara di dalam hati, dicerna oleh akal dan menghasilkan kesalihan sosial. Dengan demikian, karena takwa tidak ada sama sekali alat ukurnya, alias bersifat relatif, maka dalam menempuh hukum Islam yang objektif adalah dengan menunjukkan keilmuan yang merupakan pencernaan dari akal dan produk kesalihan. Namun, bersifat kolektif dalam mengaplikasikannya. Kolektifitas yang dimaksud adalah menyangkut kehadiran individu-individu dan kelembagaan, serta diramu dalam bentuk syura (demokratis).
Inilah kolektifitas yang wajib ada di dalam ruang ijtihad. Dan sekali lagi harus penulis tekankan di dalam tulisan ini, bahwa kemaslahatan yang menggabungkan antara hati dan akal, serta setia untuk mengkontekskan teks-teks hukum dengan keadaan baru maka akan melahirkan kemaslahatan yang sempurna untuk masa dikeluarkannya hasil ijtihad, dan belum tentu untuk masa yang akan datang. Karena dengan pola seperti ini, benturan antara dalil akan mudah diminimalisir. Apalagi permasalahan saat ini lebih kompleks dibandingkan dengan masa lalu. Oleh karenanya, kompleksitas masalah dewasa ini, menuntut pula elastisitas dan fleksibilitas dalam memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Apalagi realita yang ada telah memberikan gambaran yang jelas yaitu :
إن النصوص تتناهى ولكن الحوادث لا تتناهى
Artinya : “Sesungguhnya nash-nash itu telah berakhir sedangkan peristiwa itu tidak pernah berakhir.”
Inilah hati, yang tidak akan pernah berdusta kapanpun waktunya, dalam keadaan apapun dan di manapun berada. Sedangkan akal bisa menciptakan suatu perubahan, dan mungkin juga menciptakan kebohongan sesuai dengan perubahan waktu, keadaan dan tempat. Maka wajar rasanya, jika ada kaidah yang menyebutkan, لاينكر تغير الأحكام بتغير الأزمان (tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu),  hal ini terjadi karena memang perbedaan antara ulama saat itu selalu antara teks dan rasionalitas, tapi minim sekali membicarakan antara hati dan akal. Jika diperhatikan kaidah ini terkadang, sering dianggap membingungkan karena ada dua sisi yang berbeda. Pada sisi pertama, hukum dapat berubah karena perubahan perkembangan manusia, oleh karenanya hukum Islam bersifat dinamis (tidak anti perubahan). Pada sisi lain, hukum Islam menjadi jumud (statis)  karena kebanyakan ulama menyandarkan diri kepada aliran hukum tertentu sehingga mereka agak sulit menerima perubahan.  Untuk itu, hati harus menjadi filter atas pembusukan akal, dan paling tidak, tulisan Imam al-Ghazali yang berjudul Ihya` ‘Ulum al-Din dan al-Mustashfa yang kemudian dikembangkan oleh al-Syatibi dengan judul al-Muwafaqat, menjadi salah satu bukti, adanya titik temu antara hati dan akal dalam menghasilkan maksud-maksud hukum, sehingga dapat menerima perubahan yang penuh dengan kedamaian, karena semuanya, benar-benar untuk memberikan pencerahan kepada seluruh umat Islam atas elastisitas dan fleksibelitasnya hukum Islam, sekaligus untuk memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah kemafsadatan di dunia dan di akhirat. Sebagaimana di dalam kaidah fiqh telah disebutkan adanya, درؤ المفاسد وجلب المصالح (Menolak kemafsadatan dan mendapat kemaslahatan)
Sejalan dengan kaidah di atas, adalah pendapat yang dikemuka¬kan oleh Ramadhan al-Buthi yang menyatakan, bahwa meraih kemaslahatan dunia itu pada dasarnya juga untuk meraih kemas¬lahatan akhirat.  Dengan demikian, maka seharusnya pertanyaan yang muncul bukanlah seperti yang ada di atas, akan tetapi, “sudah seberapa banyak dan sejauh manakah keilmuan umat Islam dibidang science?”. Dengan pertanyaan seperti ini, maka kita akan mendapatkan suatu jawaban pasti untuk menciptakan cooperation in science and of technology (kerjasama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi) dengan siapapun, termasuk dengan non-muslim. Dan perlu diingat bahwa, pengambil keputusan akhir ditangan pemimpin musyawarah bukan oleh individu-individu yang datang, peserta yang hadir hanya menyampaikan hasil pemikiran mereka yang ditemukan melalui jalan penelitian secara akademik, atau di dalam bahasa ushul fiqh-nya disebut dengan teori istiqra’.
Contoh kongkritnya adalah, seperti apa yang telah dilakukan oleh Amir al-Mu’minin Umar bin al-Khathab ra. terhadap pencuri, di mana ia ini tidak memotong tangan pencuri tersebut karena kontksnya saat itu adalah pada masa terjadinya kelaparan (‘am as-sannah/al-maja’ah). Padahal ketentuan hukum potong tangan pencuri telah terdapat dalam al-Qur’an (Qs. al-Ma’idah [5]: 38). Menurut Ma’ruf ad-Duwalibi, peristiwa ini menunjukkan adanya perubahan hukum pencurian yang telah ditetapkan al-Qur’an, disebabkan oleh perubahan kondisi yang menyebabkan timbulnya pencurian.  Akan tetapi menurut hemat penulis, bukan saja perubahan keadaan yang menjadi landasan perubahan hukum, akan tetapi, hati sang khalifah telah melihat keadaan masyarakat secara mendalam, di mana keadaan telah memaksa warga untuk melakukan pencurian.
Begitu juga dengan kasus-kasus hukum lainnya yang diputuskan oleh Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu seperti kegerahan Umar terhadap prilaku individual umat Islam dalam beribadah di malam bulan Ramadhan yang kemudian olehnya disatukan dalam satu shalat sunah berjama’ah dengan niat shalat tarawih dan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Contoh ini juga menunjukkan di mana hati dan akal telah bersatu padu sehingga memunculkan ke’arifan yang mendalam dan memutuskan suatu kebijakan dengan sangat bijak. Tidak ada tendensi apapun di dalamnya. Semuanya murni dari hati yang paling dalam (ikhlash mengharapkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala), karena apa yang disampaikan oleh isi hati yang paling dalam akan mudah diterima oleh hati yang paling dalam juga.
ولا شك أنَّ الوعظ مِن المخلصين وأهل القلوب ، أشد تأثيراً من غيرهم ،فإنَّ الكلامَ إذا خرج من القلب وقع في القلب
Artinya : “tidak dapat diragukan lagi bahwa keteladanan dari orang-orang yang ikhlash dan bijak, lebih mudah diresapi oleh orang lain, maka sesungguhnya ungkapan itu jika lahir dari hati maka akan tertanam di dalam hati orang yang mendengar ungkapan tersebut.”

C.    Kesimpulan.
Berdasarkan seluruh ungkapan penulis di atas, maka, agaknya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa revitalisasi tugas Kementerian Agama sebagai rumah umat Islam untuk berijtihad secara kolektif merupakan amanah umat yang begitu besar untuk dapat menciptakan fiqh Indonesia yang lebih efektif. Adapun pendekatan yang digunakan di dalam ijtihad kolektif, mengekspresikan penekanan terhadap hubungan kandungan hukum Tuhan dengan aspirasi hukum yang manusiawi, yakni dengan menggunakan teks, akal, dan hati yang paling dalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KHIYAR

Secara bahasa khiyar berarti memilih mana yang lebih baik dari dua hal atau lebih. Sementara secara terminologis menurut para pakar adalah ...